Tulisan yang belum terlambat dibuat karena ini masih pertengahan Februari. Nggak apa-apa, daripada blogku melompong, tapi tagihan terus berjalan :”)
Pasca (kurang lebih) enam bulan pada 2021 yang sungguh menguji keimanan, keyakinan, dan hubunganku dengan Allah, sepanjang 2022 sampai awal 2023 kembali ditempa dengan situasi yang mengejutkan.
Sebetulnya nggak terlalu mengejutkan bagi orang-orang yang paham hakikat hidup di dunia: ketika dapat kebahagiaan, jangan terlalu girang karena itu hanya sesaat (dan setengah sayap nyamuk). Pun ketika diuji kesulitan, jangan terlalu sedih, nelangsa dan merasa payah karena itu hanya sesaat (dan setengah sayap nyamuk).
Aku hidup puluhan tahun, seperempat abad lebih, dan baru hari ini menyadari sebenar-benarnya kehidupan orang dewasa yang tricky, penuh bahaya, licin, bahkan bisa kubilang menjerumuskan. Oh, begini toh yang namanya roda berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Namanya juga roda, berputarnya bisa cepat, bisa juga pelan. Qadarullah, rodaku berputar cepat. Ditambah kondisi hati yang kurang terampil kukelola, menjadikan mentalku terkaget-kaget dan tentu saja babak belur sana-sini.
Teori roda ini klasik banget, tapi aku nggak akan pernah benar-benar memahaminya sampai aku sendiri mengalaminya dan mengambil pelajaran darinya. Berlaku pula untuk teori lain, seperti teori memaafkan, teori berdamai dengan luka masa lalu, teori jatuh cinta, teori ikhlas, teori ridha dengan segala ketentuan Allah, teori keyakinan, dan segambreng teori lain.
Kita nggak akan pernah paham segala teori itu sampai kita sendiri melakukan praktikum, alias mengalaminya, kemudian mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Mari kita sebut hikmah, sebab itulah harta karun milik kaum muslimin.
Merekonstruksi Ulang Teori Kehilangan
Alhamdulillah aku masih punya orangtua lengkap, aku belum pernah merasakan kehilangan orang tersayang. Belum pernah ditinggal mati bukan berarti sebagai manusia aku nggak pernah sama sekali dan nggak tahu rasanya sesuatu yang berharga diambil dari genggamanku. Aku pernah dan aku tahu rasanya.
Apa yang orang bilang? Waktu akan menyembuhkan.
Sebagai seorang muslim, kita punya cara sendiri dalam memandang sesuatu. We have different worldview which is comes from mindfulness and clear comprehension about the nature of Islam and our existence. Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Sebab apa yang telah hilang dari kita, tentu saja nggak akan pernah bisa kita lupakan. Sesuatu yang hilang itu pernah menjadi bagian dari hidup kita, mendampingi hari-hari kita, kemudian kita menjadi terbiasa dengan sesuatu itu.
“Akan terasa sulit jika seseorang meninggalkan hal-hal yang ia sukai, karena selain Allah, dan ketakutan untuk mengambil keputusan karena untuk sesuatu yang lebih baik. Itulah tipu daya syaithan saat seorang hamba ingin berusaha hijrah.” (Ibnul Qayyim)
Lalu bagaimana jika sesuatu itu memang baik, tapi kemudian Allah ambil?
Ya balik lagi ke… “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah (2): 216)
Yang Allah mau dari kita itu:
- Bagaimana cara menghadapi kehilangan?
- Bagaimana tetap berprasangka baik pada Allah?
- Bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa kehilangan tersebut dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi setelahnya?
Cara Mendidik Akal Manusia yang Bebal
Dasar manusia. Mentang-mentang dikasih akal, maunya apa-apa dicari alasan logisnya, penjelasan rasionalnya, dan segala perhitungan otak yang sungguh terbatas. Padahal segala sesuatunya bermuara pada keimanan. Dalam perspektif muslim, perkara keimanan dan pemahaman terhadap sesuatu yang ghaib, yang tidak tampak, itu krusial dan fondasi yang nggak bisa kalau nggak dipakai. Harus.
Sebab kita diciptakan di dunia ini hanya untuk nabung biar bisa hidup bahagia di surga. Surga mana kelihatan sih sama mata kita gimana bentuknya? Sosok Allah juga kita nggak tahu kayak gimana rupanya. Artinya, kita hanya butuh meyakininya saja. Dengan segala tanda-tanda kekuasaanNya, tanda-tanda kasih sayangNya, tanda-tanda kemurkaanNya—berdasarkan peristiwa sejarah yang sengaja dijaga agar tetap ada, supaya kita bisa mengambil pelajaran—seharusnya cukup untuk bilang, “Udah, iyain aja.” terhadap takdir hidup yang terjadi pada kita.
AAS alias Asal Allah Senang, ya udah iyain aja. Sayangnya, kita ini memang manusia bebal. Well, jangan kita deh ya, tapi AKU yang nulis tulisan ini. Aku manusia bebal yang selalu butuh penjelasan yang masuk ke logikaku untuk memahami kemudian mengimani sesuatu.
Aku tahu aku punya kecenderungan membahayakan keimananku sendiri, maka sudut pandangku wajib kuubah: aku harus mendapatkan penjelasan atas peristiwa atau takdir yang kujalani—yang aku belum paham kenapa bisa begini kenapa bisa begitu—agar kekusutan di kepalaku terurai, sehingga aku bisa memandang segala peristiwa ini sebagai pesan sayangnya Allah buatku, sebagai cara Allah untuk menggugurkan dosa-dosaku, sebagai cara Allah untuk menaikkan derajatku dan melejitkan potensi yang kupunya—yang sebelumnya nggak kutahu—alih-alih hanya menerimanya, tapi kemudian di sepanjang hidupku di dalam hati kecilku, aku terus bertanya-tanya ‘kenapa’.
“Ridha, kok, inshaa Allah… tapi…”
“Yaa… ridha lah, masa’ enggak…”
Giliran ditanya, kenapa ridha? Kok pakai ‘tapi’? Jawabnya lama, kudu mikir dulu. Menurutku, kalau sudah ridha, nggak akan ada TAPI, nggak perlu mikir lama, dan keridhaan itu muncul tidak dalam keadaan terpaksa. Ya mau gimana lagi, ridha lah masa’ enggak.
“Aku ridha dan inilah cara Allah mendidik nafsuku, mendidik emosi, spiritual, dan mentalku agar siap menghadapNya kapan pun, agar memenuhi ekspektasiNya karena Dia sayang banget sama aku dan berharap aku jadi manusia yang bisa Dia banggakan di depan seluruh makhlukNya.”
Ridha karena memang sepenuh hatiku, aku bahagia dengan keputusan Allah. Selesai.
Begitulah seharusnya akal manusia (utamanya otakku yang tipe thinking ini) digunakan. Buat mengais hikmah, bukan buat mempertanyakan kenapa kemudian nggak bisa ridho dengan takdirnya Allah. Isi kepala yang berantakan itu diuraikan agar bisa melihat secara jernih dan objektif, apa yang Allah inginkan dariku dengan adanya kehilangan ini?
Allah ingin aku bagaimana dalam menyikapi peristiwa ini?
Allah ingin aku menjadi apa setelah peristiwa ini? []
sore, mendung, gerimis deras
4:25 PM