Jurnalisme Dibungkam? Sastra Datang Melawan!

Selepas reformasi 98, pers Indonesia belum bisa dikatakan benar-benar bebas. Ketika era Orde Baru, ada lembaga bernama Otoritas Bahasa. Mereka tahu bahwa bahasa adalah salah satu kunci untuk berpikir, bicara, mengkritisi, dan menyampaikan pesan. Maka begitu bahasa dikuasai, pikiran orang juga akan mudah dikendalikan.

Otoritas Bahasa itu masih ada sampai sekarang. Hanya berganti nama menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Tapi mereka tidak lagi memiliki dominasi kuasa mengatur seperti dulu.

Nah, lucunya, kebebasan pers yang berkembang sekarang justru banyak ditunggangi kepentingan. Di sinilah kemudian sastra berperan.

Kenapa Sastra?

Bila jurnalistik berbicara dengan fakta, maka sastra berbicara dengan kebenaran. Apa bedanya? Fakta bisa diembargo dan dimanipulasi. Berbeda dengan kebenaran yang tanpa perlu diapa-apakan, dia akan muncul sendiri.

Jurnalisme terikat oleh 1001 kendala, mulai dari bisnis hingga politik untuk menghadirkannya. Namun, kendala sastra hanyalah pada kejujurannya sendiri. Buku sastra bisa dibredel, tetapi kebenaran dan kesusastraan menyatu bersama udara.

Seno menuturkan pengalaman-pengalamannya selama menjadi jurnalis saat bekerja di Media Massa Jakarta Jakarta (JJ). Ia mengungkapkan fakta mengenai insiden yang terjadi di Dili hingga memunculkan ketidaksukaan pihak-pihak tertentu terhadap pemberitaan tersebut.

Akibat pemberitaan tersebut, Seno dan kedua rekannya ditegur, bahkan mendapat sanksi. Dua rekan Seno didemosi atau dimutasikan karena kesalahan. Akhirnya, Seno menuliskan kembali Insiden Dili dalam berbagai bentuk cerita pendek. Seno menulis kembali sebagai bentuk perlawanan.

Hanya dengan cara itulah ia bisa menunjukkan betapa Insiden Dili bukan hanya tak bisa dilupakan tapi bahkan ia abadikan. Di sanalah hakikat perbedaan jurnalistik dan sastra. Seno ingin membuat pembungkaman itu gagal. Ia melawan. Sebab itulah setiap detik dari kehidupannya menjadi jauh lebih bernilai dari sebelumnya.

Kritik Tajam Lewat Karya Fiksi

Seno juga menuturkan dalam tulisannya bahwa fiksi dianggap cukup bisa mengundang masalah, sehingga perlu ditegur hanya karena berbau fakta. Sebuah karya fiksi (cerpen ataupun novel) bisa mengutip tesis/disertasi/jurnal yang sulit terbantahkan, tapi dia tetap karya fiksi. Apalagi jika cerita di dalamnya cuma ‘berbau’ fakta.

Ternyata ada kecenderungan kuat untuk menganggap fiksi sebagai fakta. Kalau mau dibawa sampai ke pengadilan pun, tidak akan pernah ada fiksi yang disahkan sebagai fakta. Di sinilah sastra kemudian memunculkan kebenaran dan menggantikan peran jurnalistik yang dipaksa bungkam.

Bukti sah untuk menggugat suatu kasus ke pengadilan adalah dengan fakta. Kasus diproses karena ada bukti berupa fakta. Nah, bayangkan apabila seorang Seno dibawa ke pengadilan hanya karena ia menulis novel Negeri Senja yang dirasa menyinggung pihak-pihak tertentu?

Peran Sastra dalam Sejarah

Sastra tak hanya cerita pendek (masuk ke dalam kategori prosa). Ada drama dan puisi. Puisi banyak mengambil peran dalam sejarah. Zaman jahiliyah dulu, puisi dan penyair ditempatkan pada posisi tinggi dalam kelas sosial. Ada beberapa penyair jahiliyah yang hendak menyaingi keindahan Alquran. Ada nama Imru’ al Qois, Abu Mihjan, dll.

Dari kalangan Sahabat Nabi ada penyair Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, dan Ka’ab bin Malik.

Contoh epik dari peran puisi yakni tampak saat perang mu’tah. Pasukan Abdullah bin Rawahah yang jumlahnya sekitar 3.000 orang sanggup mengalahkan 200 ribu tentara Romawi. Apa rahasianya? Selain kekuatan ruhiyah dan ibadah, ada peran puisi di sana.

Puisi menjadi senjata penggugah semangat yang digunakan panglima perang agar pasukan tidak mundur. Abdullah bin Rawahah menjadikan puisi-puisinya sebagai slogan perjuangan para sahabat yang ketika itu mentalnya gemetar, hatinya ciut melihat barisan tempur Raja Hercules. Setiap melihat pasukannya hendak mundur, ia tampil gagah di depan dan menyenandungkan puisinya.

Duhai diri
Bila kau tidak terhunus pedang di medan juang
Suatu saat kau tetap akan gugur
Meski kau hanya tidur di atas ranjang

Banyak cendekiawan muslim terdahulu yang pandai bersyair. Jika sedang membutuhkan penyemangat dan hendak menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, mereka memakai puisi. Ini juga yang dilakukan penyair Indonesia angkatan 20an/Balai Pustaka, angkatan 30an/Pujangga Baru, angkatan 45, dst.

Sastra Tidak Cengeng!

Jika jurnalistik bermain dalam ranah fakta dan logika, maka sastra yang hadir bersama kebenaran, dibuat dan ditujukan untuk menggugah empati dan nurani manusia.

Segudang karya para sastrawan Indonesia terbukti menggugah, bukan? Apalagi era Chairil Anwar, sastra menjadi salah satu motor semangat perlawanan.

Saya berharap sekali bahwa kelak orang-orang tidak lagi melihat sastra dengan pandangan cengeng, melankolis, ataupun mendayu-dayu. Sebagaimana pesan Seno bagi pembaca dan bahkan penulis sastra, mereka harus keluar dari tiga mitos. Apa aja mitos tersebut?

Pertama, sastra itu curhat yang membuat cengeng. Sastra bukan curhat, bukan karya yang membuat cengeng. Buku sastra tidak semata bentuk curahan hati cengeng dan ungkapan kegalauan penulisnya. Sastra itu perwakilan manusia dan kehidupannya.

Kedua, sastra itu bahasanya mendayu-dayu sehingga rumit dipahami. Sastra yang baik seharusnya ditulis dalam bahasa yang dapat dipahami oleh pembaca awam sekalipun. Karena kepada mereka lah sastra dituliskan.

Ketiga, sastra itu isinya petuah, pedoman hidup. Buku sastra bukan buku teori agama. Itu buku tentang manusia dan bumi yang dihuninya.

Sastra Didik Anak Jadi Pemberani

Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu agar mereka berani melawan ketidak adilan. Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu agar mereka berani menegakan kebenaran. Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu agar jiwa-jiwa mereka hidup. Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu. (Umar Bin Khattab)

Sebab sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani. Sastra mengajarkan keberanian, kebebasan berpikir dan berkehendak. Aisyah juga mengatakan hal yang sama, “Ajari anak anak puisi sejak dini.”

Bersyair itu bukan mengajari manusia untuk menjadi cengeng, melankolis. Bukan. Tapi bersyair, berpuisi, bersastra, adalah salah satu cara mensyukuri nikmat berkata-kata.

kompasiana.com

  • Judul Buku : Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
  • Penulis : Seno Gumira Ajidarma
  • Penerbit : Bentang Pustaka
  • Cetakan pertama Edisi II: September 2005
  • Tebal : 244 halaman
  • ISBN : 979-3062-70-3

 

Diunggah pada 15 Juli 2017
di perpustakaansekar.wordpress.com

Terima kasih sudah membaca :D Apa pendapatmu?

error: Content is protected !!