406 halaman ini sukses mengaduk-aduk perasaan. Meminjam istilah anak muda sekarang; bikin baper. Ketika tahu sebelumnya bahwa sang penulis tidak hanya menerbitkan buku, tapi juga membabat habis ratusan naskah skenario FTV, pantaslah jika jalan cerita Mr & Mrs Writer ini kaya bumbu dan tidak picisan.
Hidup dari Menulis, Kenapa Tidak?
Mr & Mrs Writer berkisah tentang sepasang muda-mudi yang memutuskan untuk menikah dengan cara unik. Bermula dari pernikahan itulah, seluruh episode ujian seorang manusia datang bertubi-tubi, meminta jatah kesabaran, cinta, kasih sayang, dan kesetiaan seluas samudra, sedalam pusat bumi.
Belum lagi, masalah demi masalah dalam rumah tangga pasangan manis itu harus beradu dengan cita-cita dan ego yang saling bersahutan. Sang istri yang sangat tidak siap menikah muda, tiba-tiba dituntut untuk bisa beradaptasi cepat, membagi waktu antara menulis, mengurus rumah tangga, dan membangun impian bersama orang tercinta
Sampai akhir kisah dalam buku ini, betapa para pembaca akan dibuat terenyuh, menganga, sampai menitikkan air mata atas kesabaran tanpa batas dari seorang suami. Kegigihannya menunaikan kewajiban mencari nafkah demi melihat keluarga kecilnya bahagia, tidur nyenyak, perut kenyang, dan dapur terus mengepul.
Bahkan sang suami rela, tulus, melakukan dengan bahagia semua tugas rumah tangga yang seharusnya menjadi ladang pahala bagi sang istri. Semua tugas rumah tangga, mulai dari memasak, mencuci piring, mengepel, menyapu, mencuci baju, menyediakan secangkir kopi dan cokelat panas setiap sang istri mulai suntuk bekerja di depan laptop, sampai mengurus bayi.
Ditambah keluhan, gerutu, amarah, cacian, hinaan dari sang istri yang menyinggung martabat seorang pemimpin keluarga sudah kenyang dilahap sang suami. Namun, kebiasaan manis dan indah kepada ratu hatinya terus dilakukan tanpa kenal lelah. Kesabaran yang mulia ini terus berlangsung 3 tahun lamanya!
Melalui kesulitan demi kesulitan pasangan muda ini, Achi TM hendak membuktikan bahwa berprofesi sebagai penulis sama seperti jenis pekerjaan lain, ada kesulitan dan tantangan tersendiri. Bahkan barangkali butuh kegigihan berkali-kali lipat karena ada tuntutan kreativitas, inovasi, dan tentu perang melawan diri sendiri; melawan kemalasan dan segudang alasan untuk tidak menulis. Dijamin, profesi ini sangat seru!
Ambil Hati Pembaca Pada Bab Pertama
Jika dalam cerpen, paragraf pembuka adalah segalanya, maka dalam novel, bab pertama adalah nyawa. Nyaris sama seperti cerpen, bab pertama akan memunculkan keinginan pembaca untuk lanjut ke halaman berikutnya. Bab pertama memberi kesan awal, apakah jalan cerita di dalamnya akan mendebarkan atau datar-datar saja.
Beruntung, saya mendapati bab pertama sebagai pembuka yang manis. Pembaca langsung dipacu adrenalinnya dengan adegan tokoh utama perempuan yang sedang bertarung dengan waktu, hendak menyelamatkan impian yang susah payah ia bangun sejak SMA.
Nama tokoh utama perempuannya Ara. Karakter Ara cukup kuat, diperlihatkan dengan dialog dan cara penulis menyajikan bagaimana gerak gerik Ara serta responnya terhadap perkataan atau sikap orang lain. Pembaca akan mudah menebak, tanpa perlu dideskripsikan seperti apa tabiat Ara.
Konflik Rumah Tangga
Saya suka sekali cara penulis membuat alur konfliknya hingga berhasil melarutkan perasaan pembaca. Barangkali karena cerita inti novel ini diangkat dari kisah nyata kehidupan pribadi si penulis? Kemudian ditambahi bumbu penyedap di sana-sini. Entahlah.
Saya sempat merenung agak lama, memikirkan sungguh-sungguh apakah konflik macam ini benar-benar ada di kehidupan nyata? Okelah, kalau memang penulisnya menciptakan konflik rekaan.
Tapi bukanlah hal yang tidak mungkin kalau di dunia ini ada tipe suami macam Ragil yang dengan kesabaran tanpa batas, tetap setia tersenyum, mencintai, mengasihi, menyayangi, memperlakukan sang istri –yang kurang ajar– dengan sangat mulia bak ratu kebanggaan. Bukankah ini mungkin saja terjadi?
Hanya saja, saya sulit untuk percaya dengan kemungkinan tersebut. Sederhananya begini, ide apapun yang muncul dari seorang penulis biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman atau kejadian sekitar, kemudian diracik dengan drama-drama buatan yang tetap dalam koridor logika.
Konfliknya logis. Hanya saja, saya masih belum bisa mencerna –-mungkin lebih tepatnya belum bisa menerima— bahwa di dunia ini kemungkinan memang ada pria sabar luar biasa seperti Ragil. Tingkah polah sang istri yang sukses membuat saya jengkel setengah mati, tetap dihadapi dengan manis dan lembut oleh suaminya. Dan kepenatan itu berlangsung selama tiga tahun. Tiga tahun! Ini kan, gila.
Ide Unik
Mr & Mrs Writer memunculkan sisi lain dari kehidupan rumah tangga sepasang suami istri yang berprofesi sebagai penulis. Yang satu punya passion dengan dunia tulis-menulis sejak SMA, sudah mendarah daging, meskipun berkali-kali naskahnya ditolak.
Satunya lagi, sama sekali baru dengan dunia menulis, bekas tukang kayu, membaca novel pun hanya 3 kali seumur hidupnya, tapi sekalinya ia menulis, naskahnya langsung diterima PH (Production House/Rumah Produksi), lolos jadi skenario FTV, bahkan novel perdananya best seller.
Saya bisa dengan mudah memahami perasaan Ara dan Ragil ketika otak buntu, sedangkan deadline terus maju, meraung-raung minta cepat diselesaikan. Bagaimana lelahnya begadang, mata pegal, kepala pening, punggung mau rontok, tapi kewajiban di depan mata belum selesai.
Begitu pun ketika mereka berdua sedang dalam puncak kenikmatan menyelami cerita yang dikarang, disusun, diketik di depan laptop dan mesin tik butut, kemudian saling berdiskusi bersama membahas naskah. Saya sangat menikmati adegan ini! Sepasang suami istri mendiskusikan dunia tulis-menulis, dan dua-duanya menunjukkan ketertarikan yang sama besarnya, sama antusiasnya.
Melihat kegigihan Ara mencapai impiannya menjadi penulis perofesional, menatap Ragil yang tak kalah keras belajar menulis demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Semua tenaganya tulus dikuras habis demi uang, demi menghidupi anak istri, sekonyong-konyong membuat saya ikut semangat.
Saltik dan Adegan yang Tidak Logis (?)
Pada halaman 10-11, saya menemukan adegan ganjil; Kali ini Ara tidak mengayuh sepedanya. Ia meminjam motor Ayah dan mengegas motor itu sekuat tenaga. (hal 10, baris 10-11 dari bawah)
Ia memarkirkan sepedanya di tempat parkir motor kemudian berjalan menyusuri pasar. (hal 11, baris 8 dari atas)
Mulanya mengendarai motor, lalu yang diparkir adalah sepeda. Jadi, itu sepeda siapa ya? Apa mungkin Ara menemukan sepeda lucu di pinggir jalan, lalu motornya ditinggalkan, dan ia beralih naik sepeda?
Ada juga beberapa saltik tanda baca dan kesalahan penempatan kalimat yang tidak begitu mengganggu, tapi cukup membuat dahi mengernyit, ini maksudnya apa ya? Sehingga saya merasa perlu untuk membaca dua kali dengan lebih hati-hati.
Misalnya;
Setelah mereka menulis bersama di pagi hari, Ragil akan pergi menyiapkan memasak makan siang… (hal 175, baris 5 dari bawah). Seharusnya kata menyiapkan atau memasak bisa dipilih salah satu, sesuai kehendak penulis, adegan tersebut ingin bagaimana.
Ada lagi, POV kau atau –mu; Untuk menunggu 1 sinopsis yang di-acc kau harus menunggu kurang lebih dua minggu. (hal 208, baris 12 dari bawah); Bagaimanapun juga susah bukan menghilangkan sosok lelaki yang sudah ada di hatimu… (hal 318, baris 2 dari bawah)
Apa mungkin penulis sengaja menaruh pembaca sebagai bagian dari cerita?
Tergesa-gesa
Konflik naik turun yang sangat saya suka dan bikin geregetan ini agaknya cukup terganggu dengan cerita yang tampak seperti dipaksakan masuk, tiba-tiba terjadi begitu saja, bak drama korea atau sinetron klise.
Ketika Gina mencari Ragil, tapi justru menemukan pria lain –cinta pertama Ara sekaligus murid kursus menulis— yang tidak sengaja salah sapa, Gina melihat pria itu terluka, lalu diobati, dan dari sini Satria yang sulit menyukai wanita tiba-tiba menjadi jatuh cinta dan memutuskan untuk setia dengan cinta ini. (hal 305 – 307)
Saya merasa alurnya terlalu cepat dimasukkan ke dalam cerita. Dan kalau boleh saya bilang; ini sinetron banget!
Sikap Manis Ragil
Rasa-rasanya, saya bisa memahami betul kesetiaan Ragil dan perasaannya yang demikian dalam pada Ara, padahal perilaku gadis itu sungguh durhaka, menguji kesabaran pada titik paling ekstrim. Saya saja sampai kesal bukan main membaca ucapan Ara yang tidak sopan kepada suaminya. Bacanya aja gue nggak tegaaaaa T__T pengen buru-buru balik halaman dan nemuin hepi ending. Hiks
Sumpah! Saya iri dengan siapa pun wanita yang hidup satu atap bersama seorang suami yang tidak pernah letih sepersekian detik pun untuk menggiring istrinya menuju kebaikan. Terus-menerus dilakukan dengan sabar. Sampai akhirnya sang istri menjadi apa yang sang suami perjuangkan selama ini; muslimah berjilbab dan memenuhi kewajiban serta haknya pada sang suami sebagaimana mestinya. Konfliknya sangat manusiawi, begitu juga dengan tokoh Ara. Namun, Ragil? Kok malaikat banget ya? Haha
Setidaknya, kebohongan yang sudah diketahui orang-orang ini (baca: novel fiksi) bisa disajikan sempurna dengan konflik yang total, tidak setengah-setengah. Contohnya, masalah rumah tangga Ara dan Ragil. Konfliknya sudah pasti umum terjadi di masyarakat, tapi karena ujian ini berlangsung di dalam rumah tangga pasangan penulis, jadilah idenya tampak mengesankan, unik, dan….. bikin baper!
Menulis dan Jutaan Kebaikan Bersamanya
Novelis Mr & Mrs Writer ini cukup lihai menghadirkan Ragil sebagai sisi lain dari seorang penulis. Dari sosok Ragil lah, penulis hendak memberi gambaran tentang ruh dalam sebuah tulisan. Sepanjang ia ditulis dengan keterlibatan perasaan, maka semakin hidup lah isi ceritanya.
Beberapa kali saya membuktikan, terhadap diri sendiri maupun ketika membaca tulisan penulis lain. Ada yang karangannya luar biasa, tapi tak membekas. Ada yang tulisannya sangat sederhana, tapi ternyata demikian membius setiap mata yang membaca kalimat-kalimatnya.
Dari 5 bintang, saya beri 3.8 untuk konflik rumah tangganya karena menurut saya, penyajiannya sinetron banget, agak kurang realistis. Namun, untuk dunia tulis-menulisnya, bintang 5. Mantap betuuuul! Selamat, Mbak Achi! Semoga berkah seluruh kerja kerasnya. Top banget lah ini novelnya. Mewakili kaum mata panda bin kuli tinta. Istiqomah ya, Mbak ?