Gimana caranya aku tahu, dia orang solih atau bukan?
Gimana caranya aku tahu, aku bukan beli kucing dalam karung?
Gimana caranya aku bisa memastikan dia bukan scammer?
Terlebih, gimana proses Allah mendidikku lewat proses taaruf online ini?
Aku tuh bingung setiap aku jawab, “Ketemu suami lewat aplikasi” terus dapat respon/pertanyaan balik, “Kok bisa percaya?” Hahahaha ini pertanyaan yang kurang sopan sebetulnya, tapi wajar sih karena bagi orang Indonesia, ini nggak umum. Aku nggak tahu berapa persentase pasangan yang pacaran sampai kemudian mereka menikah berawal dari aplikasi. Sepengetahuanku banyak. Aku tahu dari YouTube soalnya mereka bikin konten. Mungkin memang nggak sebanyak orang-orang yang masih asing dengan ketemu jodoh lewat aplikasi online.
Tetap aja, ini bukan budaya timur yang jamak dan tidak semua orang mafhum dengan prosesnya. Maka respon kaget, nggak percaya, dan skeptis itu wajar. Aku bisa terima–walau kadang kesel karena PMS atau lagi capek wkwk.
Ketemu Pria dengan Beragam Pesona
Beuh… pesona banget nggak tuh. Bagi wanita (tolong jangan denial) hati kita itu mudah meleyot hanya dengan kata-kata dari mulut/ketikan seorang pria. Ini fitrah. Sebab letak kelemahan kita ada pada telinga. Inilah yang kurasakan ketika pakai aplikasi. Babak belur, cuy. Babak belur karena capek berharap, terus pada akhirnya kecewa karena kenyataan tak sesuai harapan.
Menurutku, kami cocok dan aku terima segala kondisinya. Lah ternyata adaaa aja yang bikin gagal. Entah karena pria itu tiba-tiba mundur, nggak siap ke Indonesia, nggak siap nunggu visa, punya penyakit mental, syiah, trauma punya istri yang cuma pengen dapet green card (izin tinggal untuk Permanent Resident di US), nggak mau diajak ngaji karena dulu bapaknya sering maksa-maksa dia ke masjid, nggak diizinin ibunya nikah sama wanita di luar kebangsaan dia padahal usianya sudah 39 tahun, nggak percaya mazhab, dan masih banyak lagi.
Seingatku, 80% aku tidak meminta untuk mundur/menghentikan proses taaruf. Artinya sebanyak itu pula pihak pria yang mundur lebih dulu atau kami sama-sama sepakat untuk mundur. Bukan aku yang memutuskan untuk mundur duluan.
Di sinilah letak pendidikan Allah kepadaku.
Aku melihat semua pria itu baik, sopan, dan paham bahwa pemenuhan nafkah adalah tugas suami. Terlepas dari kriteria dasar agama, tidak merokok, tidak konsumsi makanan dan minuman haram, dll yaa.. Dan ini cukup membuatku merasa penuh, oke maju untuk menikah dengan pria tersebut. PADAHAL, itu nggak cukup. Aku nggak sadar karena aku nggak punya kosakata “suami dan bapak yang ideal”, aku nggak punya role model sehingga menemukan pria baik dan sopan itu sudah sesuatu yang mewah buatku.
Bukan berarti mereka yang baik dan sopan itu levelnya rendah. Bukan, yaa. Aku hanya luput melihat sisi lain dari seorang pria yang perlu aku pertimbangkan. Apakah aku bisa hidup dengan pasangan yang–misalnya–karena pengaruh pengobatan yang dia jalani, dia jadi mudah lupa sesuatu. Misalnya kami punya masalah dan itu sudah selesai, lalu tiga hari kemudian dia ungkit lagi hanya karena dia lupa. Akhirnya muncul pertengkaran yang nggak semestinya terjadi.
Bisa nggak hidup dengan pria kayak gitu? Bisa nggak aku terima kelemahan dia yang seperti itu? Itu kan sebetulnya bukan salah dia. Qadarullah dia harus menjalani pengobatan yang dampaknya bikin dia jadi pelupa. Sayangnya tingkat lupanya ini cukup parah menurutku.
Nyaris Menikahi Pria dengan Isu Kesehatan Mental Serius
Saat itu, aku jalani taaruf dengan dia sampai kami tiba pada proses khitbah. Ini proses taaruf (nggak jadi) yang paling jauh. Sudah sampai lamaran lewat Zoom. Ada Bapak dan sebagian keluarga beliau menyaksikan. Aku bisa bilang, saat itu, nggak ada satu pun anggota keluarga yang nggak setuju dengan rencana pernikahan kami. Semua setuju, bahkan mungkin semut dan hewan paling kecil di muka bumi ini sepakat. Soalnya semua terasa mudah dan kami sama-sama optimis akan sampai ke pelaminan.
Aku tahu dia punya PTSD dan tetap melanjutkan proses sampai akhirnya kami berargumen terhadap suatu hal, dia marah, lalu memutuskan untuk mundur dari proses alias nggak jadi nikah. Tentu saja aku kaget. Mentalku kocar-kacir, emosiku ambyar, fisikku rontok. Nggak tahu deh kalau bukan karena pertolongan Allah, aku nggak akan sanggup PP Jakarta-Bogor dan tetap bekerja normal, bahkan dapat Key Performance Indicator (KPI) bagus. Alhamdulillah biidznillah. Anyway, itu kadang ke kantor jalan sempoyongan hampir jatuh wkwk. Saking stresnya nggak jadi nikah hahaha. Nangis? Jangan ditanya. Tiap hari, tiap malam. Asam lambung naik. Demam hampir tiap malam. Badan udah kurus, tambah kurus aja itu. Ckckck.
Sekarang bisa banget mentertawakan tragedi masa lalu. Eh, nggak ketawa juga sih, tapi senyum bahagia. Itu salah satu hadiah terindah dari Allah. Titik balik aku akhirnya memberanikan diri ketemu Bapak dan jujur mengutarakan perasaanku kepada beliau.
Aneh, kan? Nggak jadi nikah, terus berujung pada menemukan lompatan untuk menyembuhkan luka masa laluku. Beginilah cara kerja takdir Allah. Tidak terduga, tidak mudah, sebab hasilnya sepadan dengan kesulitan yang dihadapi. Oh, bahkan lebih indah… 🙂
Makin lama aku makin paham bahwa Allah memang tidak menghendaki aku menikah dengan pria itu. Pria itu datang ke dalam hidupku hanya untuk membantuku menemukan sumber trauma dan lukaku, menghadapinya, menyembuhkan, kemudian menerima bekas luka itu sebagai bagian dari perjalanan menuju kehidupan manusia dewasa yang paripurna.
Aku tidak gagal taaruf. Aku hanya sedang dalam tahap “belum saatnya menikah”. Apanya yang gagal? Wong aku berhasil berdamai dengan masa laluku justru karena proses ini. Proses taaruf itu hasilnya cuma SATU: upgrade diri. Jadi pasti ada hikmah baik, pasti ada keberhasilan yang didapat. Bukan gagal, ya bestie… 😀
Tahu nggak apa hasil dari trauma dan luka innerchild yang sudah sembuh? Kita bisa melihat segala sesuatu dengan pandangan yang lebih jernih, perspektif positif, pertimbangan bijak, dan keputusan yang adil. Itu yang aku dapatkan pada taaruf berikutnya. Akhirnya, aku bisa ‘melihat’ seorang pria, menilainya, menganalisis personanya secara utuh, dan memutuskan: apakah aku perlu melanjutkan proses taaruf atau mundur? []
bersambung,
This one is indeed a priceless life lesson, thank you for sharing those paragraphs, Ka Sekar. May Allah rewards you as fresh as the pouring rain in the difficult situation, baarakallah.
Semangat jeng Sekar, ditunggu part 4 part 5 part 6 dst…. ??
selamat neeng, baarakallahu fiik
sehat dan bahagia selalu yaa