Bulan ini, pada Jumat 17 Maret 2023, aku ke rumah Bapak di salah satu kota kecil di Jawa Tengah. Ini kali kedua aku mengunjungi Bapak setelah sebelumnya masih bermukim di rumah lama, di kota berbeda.
Sebelumnya, aku menginap saat masih mahasiswa tingkat satu. Kira-kira 2010 atau 2011, aku lupa waktu tepatnya. Saat itu, aku merasa baik-baik saja. Bapak galak, menyakitiku berulang kali bahkan sampai aku sudah tumbuh dewasa dan aku terluka, tapi aku baik-baik saja. Kupikir begitu.

https://theswaddle.com/your-childhood-memories-arent-gone/
Setelah sebuah benturan mengenai tubuhku belum lama, kukira seharusnya tidak akan semenyakitkan ini, tapi rupanya aku berdarah. Begitu kubuka kain yang selama ini menutupi tubuhku, rupanya banyak sekali kutemukan kulit yang robek di sana-sini. Kukira cuma luka yang bisa diobati cepat, tapi sesungguhnya aku butuh operasi besar.
Oh, ternyata selama 17 tahun ini aku hanya merasa baik, tapi tak pernah benar-benar baik dan sehat secara emosional. Boleh jadi mental juga termasuk.
Aku merasa slogan memaafkan dan berdamai dengan masa lalu terdengar seperti pedagang asongan yang berulang kali menawari barang dari satu penumpang bis ke penumpang lain. Jika ada seorang anak mencintai ayahnya segenap jiwa raga, maka aku sebaliknya. Aku membencinya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dengan segenap hati.
Aku tak balas menzaliminya, tapi aku tak pernah peduli kondisinya. Sehat, alhamdulillah. Sakit, ya nikmatilah balasannya. Seandainya hatiku punya lubang dan rupa yang bisa dilihat mata, betapa busuknya hatiku ini. Kenapa busuk? Sebab aku sungguh tak peduli pada hidupnya. Kupikir, level kebencian tertinggi seorang anak kepada orangtuanya bukanlah menyakiti fisik maupun verbal. Bukan itu. Bukan pula berbentuk dendam yang akan dibalaskan ketika mereka sudah tua. Bukan. Doa buruk? Bukan juga
Aku tak pernah mendoakannya
dan tak sudi melakukannya..
Doa buruk tidak, doa baik apalagi.
Jadi, apa kebencian tertinggi seorang anak kepada orangtuanya?
Berhenti mendoakan.
Break the Wall
Aku kembali ke sana dengan niat yang baru. Sebagaimana korban paling menderita di dunia ini, yaitu Nabi Yusuf alaihissalam, yang mengutarakan kepada saudara-saudara dan ibu tirinya bahwa mereka pernah menyakitinya, it is break the wall. Memaafkan dengan cara menghadapi langsung ketakutan/kebencian yang selama ini menghantui.

https://liliendahl.com/2017/10/31/reduce-costs-by-breaking-down-walls/
Aku melakukannya dengan menyiapkan segenap jiwa—mental dan emosional—bahwa bapak akan denial dan balas menceramahi. Benar saja. Tidak sama persis seperti dalam bayanganku, tapi kurang lebih responsnya sudah kuprediksi.
Apa yang tak kuprediksi adalah kupikir kebencianku akan bertambah ketika melihat sosoknya dan berada dekat dengannya. Namun, aku justru kasihan. Hidupnya tidak lebih baik dariku. Secara kasat mata, rumahnya bagus, anak-anaknya bisa sekolah, makan 3x sehari, kendaraan siap sedia.
Apa yang tampak, tak bisa menutupi bahwa hidupnya serba pas-pasan dan bukan suasana rumah yang bahagia-segar-ceria yang kurasakan. Aku tidak bisa mengukur level kebahagiaan orang lain, tapi aku tahu bahwa Allah menunjukkan padaku, hidupku dan Ibuk jauh lebih baik dan bahagia.
Allah telah menunjukkan keadilan-Nya
Allah telah menunjukkan dengan cara-cara yang tak kumengerti, tapi bisa kurasakan. Berpisah dengan Ibuk bersama kabar buruk tentang Ibuk yang ia bawa dan sampaikan kepada orang-orang, tidak menjadikannya lebih baik dari kami.
Dia kurus, kusam, lemah, kaki kanan yang tak begitu kuat dibuat berjalan lama-lama, setiap hari harus minum obat penurun tensi, tak kutemukan hawa segar dari wajah dan tubuh istrinya, dan anak-anaknya… aku tahu ada yang salah dengan mereka. Cara mereka berinteraksi denganku, aku tahu betul, hidup mereka sama sepertiku dulu.
Bapak bilang, dia tak lagi memukul anak, tapi bicara kasar tetap. Apakah hanya itu? TENTU SAJA TIDAK. Ada yang ganjil dengan bagaimana mereka menjaga jarak denganku, menjawab pertanyaanku sesingkat mungkin sambil berkali-kali melirik Bapak, memakan makanan yang kubelikan dan berusaha menghabiskannya padahal aku tahu mereka sudah kenyang. Begitu kubilang, “Sudah nggak usah dihabiskan. Nanti dimakan lagi.” Barulah mereka berhenti makan.
Allah… beginilah anak-anak yang kesehariannya selalu dipaksa melakukan sesuatu, diatur ini itu, dikontrol secara penuh, dimarahi, merampas kebebasan anak-anak untuk melakukan hal-hal yang mereka suka.
“Bapak suka mukul nggak?” tanyaku pada si kakak yang sebentar lagi masuk SMA.
Dia menggeleng. “Enggak pernah.”
“Suka marah-marah?”
“Jarang, sih,” jawabnya tanpa benar-benar menatap mataku.
Apakah ini tanda bahwa mereka sudah dipesan untuk berhati-hati bicara bila ada aku? Jauh sebelum pertemuan kami ini, aku pernah bertukar pesan dan bertanya hal serupa. Bapak galak ya? Suka marah-marah? Dan dia menjawab IYA.
Gelagat mereka seperti cerminan diriku sewaktu kecil. Kesimpulan yang sudah pasti: tidak ada yang berubah dari cara mendidik Bapak. Tidak memukul saja tentu tak cukup! Tapi baiklah, harus kuapresiasi bagian itu. Termasuk bagian rutinitas salat tahajud, witir, dan salat taubat. Setidaknya, makin usianya senja, makin dia tahu, dia harus memohon ampun atas sesuatu, atas semua yang telah ia lakukan selama ini. Semoga di lubuk hati terdalamnya, dia tahu bahwa dia pernah menyakitiku dan ibuk.
Setelah Ini Apa Lagi?
Mengikuti apa maunya Allah.
Sebab aku tak lagi punya cita-cita atau resolusi tahunan yang berderet panjang. Kini hanya tiga dan itu cukup untuk mencapai tujuan terbesar penciptaanku di dunia. Aku sudah bicara sejujurnya kepada Bapak mengenai perasaanku, rasa sakitku, kesedihanku, kekecewaanku, kebencianku, dengan cara santun sebagaimana yang Allah suka.
Pun sudah kuperbaiki hubungan dengan Ibuk dan menyampaikan segala keluh kesahku mengenai sikapnya selama ini. Aku tidak punya trauma besar kepada Ibuk sebagaimana kepada Bapak, tapi aku yakin banyak sikapku yang menyakitinya. Entah membentak, mengabaikan nasihatnya, tidak melaksanakan perintahnya, tidak menjawab ketika dipanggil, dll.
Sejak aku bicara jujur pada Ibuk, kami punya kebiasaan baru yang kubangun perlahan setiap hari, dan semoga Allah berkenan dengan ini:
Sebelum berangkat kerja, kupeluk ia selama 20 detik kurang lebih, mengusap-usap punggungnya, minta maaf, dan minta didoakan. Lantas kucium pipi dan keningnya. Ibuk pun melakukan hal serupa. Sembari memelukku, ia juga meminta maaf. Lalu kami akhiri sesi berpelukan dengan ucapan niat untuk berbenah pada Ramadhan kali ini kemudian kucium tangannya dan berangkatlah aku ke kantor.
o0o
Dear Sekar,
Terima kasih sudah memberanikan diri untuk menghancurkan dinding keangkuhan dan kembali ke masa lalumu. Mengunjungi Bapak dan bicara sejujurnya mengenai seluruh lukamu tentu tak mudah, tapi kamu berhasil melakukannya. I’m so proud of you!
Kamu memang bukan influencer, bukan pula penulis terkenal. Kamu bukan perempuan modern dengan posisi karier top class berpenghasilan melimpah ruah. Kamu belum pernah melanglang buana ke negeri lain, menjadi tokoh muda yang inspiratif dan terkenal karena segudang prestasi dalam bidang pendidikan.
Kamu hanya perempuan biasa yang tinggal di rumah sederhana tanpa kendaraan pribadi. Kamu hanya perempuan biasa yang tumbuh besar dengan orangtua tunggal, bekerja pagi pulang malam sebagai karyawan swasta dengan jenjang karier itu-itu saja. Kamu hanya perempuan biasa yang banyak menahan keinginan karena tak semua yang kamu ingini bisa dengan mudah kamu dapatkan.
Tapi…
Kamu perempuan kuat. Atas izin Allah, kamu telah melewati 13 tahun masa kecil yang menyakitkan dan sisa tahun untuk bangkit berdiri, menyembuhkan luka dengan gagah berani.
Kamu perempuan kesatria. Memerangi hawa nafsu dan egomu sendiri agar energi negatif masa lalu tak menghantui masa depan. Pergi ke psikolog sembari memapah tubuh yang robek dan berdarah di sana-sini untuk disembuhkan, butuh keberanian besar! Berani mengakui. Mengakui bahwa kamu tidak baik-baik saja. Mengakui bahwa kamu sakit. Mengakui bahwa kamu butuh bantuan orang lain. Mengakui bahwa kamu ingin sembuh.
Kamu perempuan bebas. Kamu tak lagi didikte masa lalu. Kamu adalah Sekar yang independent menentukan masa depanmu sendiri—atas izin Allah. Tidak akan ada lagi orang yang berani menyakitimu karena kamu punya Allah. Kamu tidak lagi terkurung dalam jeruji kebencian dan kemarahan karena kamu telah menghadapi sumber luka terbesarmu! Dunia ini memang penjara, tapi kamu telah terbebas dari rantai kejahatannya, dan kini kamu bisa fokus untuk akhiratmu.
Kamu perempuan yang dicintai Allah. Apa bukti cinta-Nya? Dia menyelamatkan hidupmu sampai detik ini kamu terbimbing untuk melakukan hal-hal yang memenuhi ekspektasi-Nya. Kamu diberikan pemahaman bahwa tidak ada yang akan membahagiakanmu selain membuat Ia berkenan dengan apa yang kamu lakukan. Setiap hendak melakukan sesuatu, kamu selalu bertanya dulu, “Allah, apakah Engkau senang jika aku melakukan ini?”
Allah yang memberikan kebahagiaan, tapi kamu bisa mengaturnya. Bahagia jenis apa yang tidak bisa didikte orang lain? Bukankah itu bahagia yang sumbernya dari dalam dadamu sendiri?
Kamu diberikan ketenangan, kemudahan, dan kenikmatan dalam beribadah. Tidakkah itu semua adalah hadiah terindah sekaligus kebahagiaan bagi manusia yang energinya akan sampai pada kehidupan setelahnya?
Sekar…
Hidup ini akan berjalan dengan benturan di sana-sini di sepanjang jalan. Maka, berpegang teguhlah pada tali yang telah terulur menyelamatkan hidupmu selama ini. Jangan pernah berharap kepada manusia karena mereka adalah sumber kekecewaan terbesar.
Kamu sudah bicara pada Bapak. Tugasmu sudah selesai untuk mengingatkannya, untuk membuatnya tahu bahwa kamu tidak baik-baik saja atas segala perilakunya di masa lalu. Sisanya, berserah dirilah kepada Allah. Biar Allah urus dan putuskan bagaimana hasilnya.
Telah tunai kewajibanmu untuk mengingatkan Bapak, Sekar… Tunai…
Rayakanlah langkah besarmu ini dengan penuh kesyukuran, khidmatnya salat, dan doa-doa panjang yang dihujani dengan rasa terima kasih pada Allah.
Allahumma baarik! []