Harus kuakui, stigma sosial ini melekat pada anggapan bahwa ke psikolog artinya tidak normal, sakit jiwa, dan tentu saja aneh. Well, kuakui bahwa ke psikolog itu artinya ada yang perlu dibenahi dari emosi-emosi kita. Bukan lantas ‘sakit’, tapi memang kita tidak sedang baik-baik saja. Ada yang kusut dan butuh diuraikan.
Secara umum, ada dua gangguan yang terjadi pada mental manusia, yakni neurotik dan psikotik
Gangguan neurotik adalah perasaan tidak nyaman yang secara normal seharusnya tidak terjadi pada diri kita. Misalnya, rasa sedih terus-menerus, cemas, takut keluar rumah karena takut bertemu orang lain, takut datang ke tempat ramai karena takut orang-orang menilai buruk diri kita. Atau hanya sekadar ingin didengar, memvalidasi emosi, maka yang berhubungan dengan neurotik larinya ke psikolog.
Gangguan psikotik sifatnya sudah sangat klinis yakni gangguan jiwa seperti sudah merasakan halusinasi, delusi, waham, seperti skizofrenia dan pikiran untuk menyakiti diri sendiri. Pada saat inilah kita harus bertemu psikiater.
Artinya, yang bisa bermasalah bukan cuma fisik, kan? Mental juga bisa banget!
Aku adalah tokoh utama dan psikolog adalah pemeran pembantu. Tugas pemeran pembantu yakni menyokong tokoh utama agar bisa memainkan peran dengan baik. Tugas psikolog adalah membantu menguraikan benang kusut yang melilit tubuhku sehingga aku bisa melihat jelas, macam apa luka-lukaku, mencari sumbernya, untuk kemudian menyembuhkannya.
Dia membantuku menemukan kosakata yang selama ini hilang dari jiwaku. Abjad nggak akan jadi abjad tanpa huruf B, kan? Aku jadi paham bahwa selama 17 tahun ini ternyata aku membawa luka basah yang membahayakan, bukan hanya bagi masa depanku, tapi juga bagi bapak ibuk, sepupu, paman, bibi, dan orang-orang yang akan menjadi bagian dari hidupku kelak.
Seharusnya aku nggak perlu kaget karena tentu saja aku bukan satu-satunya manusia yang punya masalah itu. Sebab sejak awal aku sudah kehilangan kosakata B, pada akhirnya aku tumbuh dewasa dengan kekosongan pada bagian itu dan efeknya sungguh memengaruhiku dalam mengambil keputusan-keputusan besar dalam hidup.
Kosakata apa yang hilang dari hidupku?
Bapak
Pengabaian adalah Kejahatan Paling Mengerikan!
Mengabaikan seseorang, utamanya perasaan dan segala upayanya melakukan sesuatu yang baik, menurutku adalah salah satu perilaku berefek dahsyat di kemudian hari. Ketika nantinya ia muncul, ledakannya besar dan bisa menyakiti orang lain.
Aku akan berikan contoh dari diriku sendiri.
Masa kecilku, sejak lahir sampai usia 13 tahun adalah masa-masa gelap, pengap, dan sesak. Nggak ada istilah ‘mengoptimalkan golden age dengan stimulasi blablabla…’ dalam hidupku. Golden age-ku isinya kekerasan mental, emosional, dan fisik dari bapak. Nggak perlu ditanya gimana rasanya karena pada saat itu aku sudah nggak mikirin masa depan. Bisa hidup sehat aja udah alhamdulillah.

https://www.lebonheur.org/blogs/practical-parenting/preventing-child-abuse-and-neglect
Pendapatku, perasaanku, upayaku untuk bisa jadi anak baik yang menyenangkan, nggak pernah diapresiasi. Ketika remaja beranjak dewasa, aku belajar mengapresiasi dengan melihat orang lain. Sampai sini, kupikir aku sudah baik-baik saja. Masa kecilku nggak menyisakan apa-apa kecuali ingatan saja. Itupun sudah tertinggal jauh di belakang.
Namun, rupanya aku salah besar.
Aku masih membawa energi negatif tentang bapak. Mari kita sisihkan dulu bagian kekerasan karena itu efeknya lain lagi meski masih saling sambung. Ada bagian dari diriku yang kosong sebagaimana kuanalogikan sebelumnya tentang abjad. Segala pengabaian yang kudapat, ternyata menghasilkan efek yang luar biasa saat dewasa.
- Aku tidak mengenali kebutuhan psikologisku dan mengabaikan kebutuhan manusiawi seperti butuh dihargai, dimengerti, disayang, dicintai, dihormati, diapresiasi. Ketika tidak mendapatkan itu semua, aku merasa PANTAS. Aku nggak berpikir bahwa aku adalah perempuan yang seberharga dan ‘semahal’ itu untuk bisa mendapatkan segala keistimewaan yang tampaknya cuma bisa diperoleh permaisuri dan putri raja.
- Aku selalu berupaya agar orang lain nggak marah denganku, nggak kecewa, nggak menjauh, dan nggak meninggalkanku. Pokoknya jaga ucapan dan sikap supaya orang lain selalu senang dan bahagia denganku.
- Aku selalu menyalahkan diriku sendiri ketika ada orang lain yang nggak setuju denganku, yang menyelisihi pendapatku, yang bertolak belakang denganku, yang kecewa dan marah. Oh, dia begitu pasti karena aku lalu kucari-cari kesalahanku sendiri. Kalau aku nggak salah? Ya pokoknya aku yang salah dan cari kesalahan itu sampai ketemu.
Aku baru mendapati tiga efek itu baru-baru ini setelah melewati perjalanan 19 bulan—2021 sampai awal 2023—yang sungguh menguji segala sisi hidupku. Baru tiga, tapi lumayan bikin babak belur sana-sini. Kalau aku nggak ke psikolog, mana mungkin aku sadar ‘cacat-cacat’ itu?
Aku butuh ke psikolog sebagaimana kebutuhanku—dan kita manusia sehat—untuk medical check up rutin agar tervalidasi bahwa kita sehat atau justru kita sakit dan perlu pengobatan secepat mungkin.
Ketika Nggak Dapat Kebutuhan-Kebutuhan Normal Itu dari Siapa pun, Lantas Bagaimana?
Aku pernah menulis ini dalam satu unggahan di Instagram, tentang manusia yang punya kebutuhan terhadap pengakuan, butuh penilaian. Apa ada di antara kita yang mau dianggap buruk, jahat, dan pelit oleh orang-orang? Nggak mau, kan…
Apa ada di antara kita yang bahagia bila dihargai, dihormati, disayang, dicintai, diperhatikan, dimengerti? Tentu ada dan semua mau diperlakukan demikian. Bahkan ketika mati, kita masih ingin dikenang sebagai orang baik, kan?

sumber: 123rf
Lantas, ketika semua jaket kebaikan itu nggak bisa kita dapatkan dari keluarga, teman, rekan kerja, kolega sekolah, tetangga, gimana? Apa itu artinya perkembangan psikologis kita nggak normal? Lebih jauh, apakah lantas hidup kita gagal dan nggak ada artinya sama sekali?
Sebagaimana kebutuhan dasarku yang tidak terpenuhi semasa kecil. Aku tidak mendapat penghargaan, tidak mendapat pengakuan, tidak mendapat apresiasi, tidak mendapat cinta, tidak mendapat semua yang ketika dewasa ternyata menjadi fondasi mental yang penting.
Bersyukur sekali aku masih punya Ibuk.
Beliaulah yang kemudian mengisi kekosongan itu, dengan segala upaya terbaik yang ia ketahui. Meski pada akhirnya, tetap, tidak akan ada yang bisa mengisi ruang-ruang yang seharusnya diisi oleh seorang ayah kepada anak perempuannya.
Sampai kemudian aku tiba pada sebuah titik dan menyadari bahwa hidup ini sungguh tidak bisa kuharapkan akan berjalan sesuai keinginanku. Probabilitas untuk mendapatkan apa yang tidak kuinginkan ternyata sama besarnya dengan peluangku mewujudkan sesuatu yang kuinginkan.
Jika kemudian aku berada pada situasi tidak ideal ini, apakah lantas aku menganggap penciptaanku di dunia ini adalah sebuah kesalahan dan kesia-siaan?
Sebagai seorang muslim, aku harus memahami bahwa tujuan penciptaanku memang bukan untuk mendapatkan hidup ideal sebagaimana yang selama ini kuinginkan: ayah ibu lengkap, cerdas mendidik anak, memenuhi tugas nafkah finansial dan psikologis, pendidikan tinggi, sejahtera dan mampu menyejahterakan orang lain, memenuhi kewajiban beribadah—habluminallah dan habluminannas—secara paripurna.
Kalau aku diciptakan untuk kehidupan sesempurna itu, lantas mengapa aku harus ada di dunia alih-alih surga? Kenapa sejak awal Adam ‘alaihissalam tidak berada di surga saja untuk selamanya dan justru diturunkan ke dunia?
Banyak orang mengerti bahwa apa yang kita inginkan tidak harus selalu terjadi dalam hidup ini, tapi jarang menyadari bahwa ‘apa yang TIDAK KITA INGINKAN bisa terjadi dalam hidup ini’.
Tidak ada orang yang ingin bercerai. Tidak anak yang ingin kehilangan salah satu sosok orangtuanya—pun keduanya. Tidak ada yang ingin dipisahkan kematian. Tidak ada yang ingin ditimpa penyakit berat. Namun, hal-hal itu niscaya terjadi.
Sebab demikianlah kehidupan di dunia. Yang datang akan pergi. Yang lahir akan mati. Yang menetap akan berpindah. Yang muncul akan hilang. Yang bersama akan sendiri. Yang berkunjung akan pamit. Yang bangun akan terlelap.
Dan semuanya berjalan bergantian. Ketika bahagia datang, maka waktunya hanya sesaat, untuk kemudian berganti menjadi sedih. Ketika sedih datang, maka waktunya hanya sesaat, untuk kemudian beralih kembali menjadi kegembiraan.
“… Dan masa kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir)… Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim.” [Ali Imran (2): 140]
Tidak ada yang menetap.
Tidak ada yang bertahan lama.
Apa yang Harus Kulakukan Agar Tak Marah Ketika Mendapati Hidupku Tak Ideal?
Pertama, terima. Hidup harus terus berjalan. Roda harus terus berputar. Jam harus terus berdenting. Terasa menyakitkan di awal, tapi inilah bentuk kehidupan yang diberikan kepadaku. Aku nggak punya pilihan dan memang nggak bisa memilih ingin terlahir dari keluarga seperti apa.
Kedua, minta kelapangan hati. Hidup model begini bukan mauku, tapi aku mendapatkan yang seperti ini. Artinya, ada yang memberikan kepadaku. Ada yang mengontrol dan membuat skenarionya. Maka kepada Yang Memberi kehidupan ini, aku mohon dikuatkan menghadapinya, dimudahkan menjalaninya, dan dilapangkan hati agar tetap merasa cukup dan bahagia.
Aku nggak mau kesempatan hidup yang diberikan ini, udahnya singkat, eh dilalui dengan kesedihan-kemarahan-kekecewaan sepanjang usia.

https://www.alhakam.org/how-can-one-explain-to-an-atheist-that-everyone-will-eventually-enter-paradise/
YOLFAWITD: You Only Life For A While In This Dunya
Maka nikmatilah! Nikmatilah dengan cara ketiga, yakni mencaritahu apa yang Allah inginkan dariku dan kehidupan macam ini. Apa ekspektasi Allah terhadapku ketika Ia memberi hidup yang hanya bersama Ibuk, berdua, dengan segala keterbatasan kami dalam banyak hal. Apa maunya Allah?
Keempat, maafkan. Maafkan ketidakmampuan orangtuaku yang pada saat itu memang penuh keterbatasan. Mendidikku semampu mereka. Memenuhi kebutuhanku dalam keadaan kebutuhan mereka sendiri juga tidak terpenuhi. Termasuk memaafkan diriku sendiri yang baru menyadari sedalam apa luka yang kupunya, ketika usiaku telah lewat dari seperempat abad.
Terlambat?
Tidak. Allah memberiku kesadaran ini ketika aku dalam keadaan sehat, masih tergolong muda, dan yang paling penting, aku mengenalinya sebelum Allah mencabut nyawaku. Apa artinya ini semua?
Allah memberiku kesempatan untuk berbenah.
Keempat cara itu membuatku tidak lagi fokus pada masalah, tapi pada solusi. Segala sumber daya yang kupunya kukerahkan semua untuk membuat diriku mampu menerima, berlapang dada, untuk kemudian menemukan ekspektasi Allah, sampai akhirnya kuputuskan untuk memaafkan semuanya agar aku bisa mengembalikan fokusku pada-Nya dalam keadaan iman yang paripurna. []