Ini adalah unggahan pertamaku tentang tema yang paling kuhindari dalam setiap obrolan, tulisan, status, apa pun. Aku menghindarinya karena dua hal. Pertama, banyak orang—mungkin ini kutemukan di lingkunganku saja (?)—yang membicarakan topik ini sebagai bahan guyonan bahkan mendekati mesum. Kedua, munculnya pertanyaan lanjutan yang aku nggak tahu jawabannya karena itu berita rahasia milik Allah. “Kapan kamu menikah?”
Ketika aku tersinggung pada sebuah hal, itu artinya aku punya isu pada hal tersebut. Isu yang belum selesai dan aku harus cari akarnya sampai dapat, kemudian menyelesaikannya. Bila dibiarkan, maka aku akan selamanya memusuhi topik tersebut. Masa’ iya aku mau alergi melulu tiap ada orang bicara tentang pernikahan? Lha aku ini mau menikah atau enggak? Lol
Pernikahan sebagai Bahan Candaan
Menikah itu sulit, maka disebut separuh agama. Bisa dibayangkan bagaimana agama yang mulia ini menjadi utuh sempurna jika setengahnya telah terpenuhi dengan pernikahan? Setengahnya lagi? Bertakwa kepada Allah.
Maka ketika pernikahan itu diselimuti dengan ketakwaan, lengkap sudah. Kita telah berupaya menjadi manusia bertakwa, kemudian menikah dengan orang yang tepat dan bersama-sama memperjuangkan ketakwaan, maka indahnya telah tiba di dunia sebelum—atas izin Allah— direguk pula di surgaNya kelak.
Pernikahan dapat membawaku sebagai wanita menuju pintu surga yang mana saja. Bebas kupilih. Pernikahan dapat pula membawa keduanya—suami dan istri—pada surga atau neraka. Pilihannya hanya dua: selamat atau celaka.
Sebelum tiba pada rumah bernama pernikahan with the next level of tests, proses mencari pasangan yang tepat saja tak mudah, tak perlulah pula pernikahan dan jodoh dijadikan bahan guyonan. Bagiku, bahtera ini terlalu suci untuk ditertawakan. Sebagaimana menertawakan poligami, aktivitas ranjang, dan segala hal yang berkenaan dengannya.
Aku tahu, rekan-rekanku yang menjadikan pernikahan sebagai bahan candaan itu hanya berusaha menghibur diri atas sulitnya bahtera tersebut dilayarkan. Aku berempati karena aku tahu bagaimana sulitnya orangtuaku melayarkan perahunya, puluhan tahun lalu.
Dan oleh sebab pernikahan orangtuaku yang kusaksikan sendiri tidaklah berjalan mulus, maka aku menjadi demikian sensitif ketika ada orang bicara tentang pernikahan.
Luka Tentang Pernikahan
Mengenali luka seperti mengupas bawang. Begitu terbuka lapis pertama, maka akan bertemu lapis berikutnya. Terus saja begitu sampai tak ada lagi yang tersisa. Mengenali luka seperti menyelami palung terdalam di alam semesta. Tak jauh, justru keberadaanya demikian dekat dengan tubuh kita. Ialah hati, yang seringkali perlu bilangan tahun untuk memahami siapa diri ini beserta hakikat keberadaannya.
Setelah mengenali, maka menyembuhkannya tak punya batas akhir selain kematian. Sepanjang hidup manusia, kita akan terus berhadapan dengan benturan demi benturan. Pada sebagian orang boleh jadi benturan tersebut menimbulkan luka dan tidak pada sebagian yang lain.
Luka yang kemudian menjadi trauma ini tidak perlu dihapus. Sebagaimana bekas luka di kulit tangan, misalnya. Luka yang terlalu dalam sampai butuh banyak jahitan, pasti ada bekasnya. Meski bukan berupa warna, bisa jadi berupa rasa nyeri.
Itu kulit badan. Nah, kalau yang melukai hati, mau dihapus pakai apa? Ingatan tidak untuk dihapus-hapus karena ingatan itu akan kita lupakan dengan sendirinya apabila sudah tidak penting lagi dan tidak merasakan gejolak emosi. Nggak usah ngoyo cari cara untuk melupakan. Biasanya yang begitu, makin berusaha dilupakan, makin kuat ingatan tentang hal menyakitkan itu.
Allah memberikan kita kemampuan mengingat—termasuk juga melihat, mendengar, merasakan—itu untuk bersyukur, untuk mengambil hikmah dari yang sudah terjadi. Sebab apa yang menurut kita buruk, boleh jadi menurut Allah baik.
Jadi prosesku menyembuhkan luka—yang ditorehkan selama 13 tahun—tidak akan sembuh dalam sekejap. Sebagaimana menderitanya Rasulullah saat menyusuri Thaif untuk mengajak penduduknya beriman kepada Allah.
Apa yang terjadi pada beliau bertahun-tahun kemudian, jauh setelah peristiwa tersebut dialaminya, adalah sebuah ingatan yang melekat kuat. Tentang bagaimana darah membasahi wajah, bau busuk mengotori tubuh, dan cacian menusuk hati serta pendengaran. Jawaban Rasulullah demikian jelas, seolah beliau menyaksikan kembali potongan adegan di hadapannya ketika ‘Aisyah bertanya, “Peristiwa apa yang paling menyakitkan dalam hidupmu, wahai Rasulullah?”
Itu Rasulullah.
Lalu kita?
Tak apa ingatan menyakitkan itu masih ada, sebab proses penyembuhannya adalah seumur hidup, sedangkan memaafkan adalah keputusan yang bisa kita ambil kapan saja. Maka ambil keputusan itu dahulu, kemudian jalani keputusan tersebut perlahan. Hari demi hari, semoga semakin bertambah keridhaan kita pada orang atau keadaan tersebut.
Gejolak Perasaan saat Temanku Menikah
Dia teman baikku dalam waktu yang terbilang singkat. Kami saling kenal pada September 2021 kemudian dia menikah pada Maret 2023. Dalam jangka waktu 16 bulan, kami saling berbagi kisah perjuangan menyelesaikan isu kesehatan mental masing-masing dan bagaimana hidup yang keras telah mendidik kami menjadi perempuan kokoh dan terhormat.
Aku tahu bagaimana perjalanan dia mencari jodoh sampai menemukannya dengan cara ajaib—yang tentunya sudah dalam prediksi Allah. Aku terharu dan turut bahagia. Sungguh.
Sampai kemudian kuhadiri prosesi akadnya melalui video daring dan mendengar ayahnya menitipkan pesan kepada menantu dan anak perempuannya—yakni temanku itu. Tenggorokanku sakit karena sekuat tenaga menahan yang luruh tak kira-kira. Aku sedang dalam perjalanan pulang kantor, di kereta, penuh penumpang, dan aku tidak mau tergugu di situ.
Aku ingin punya ayah yang mencintai putrinya demikian dalam..
Aku ingin punya ayah yang dengan sepenuh ketulusan menitipkan pesan yang menguatkan..
Aku ingin punya ayah yang mampu melindungi putrinya..
Aku ingin punya ayah yang menjadi selimut hangat ketika dunia demikian dingin menggigit..
Aku ingin punya ayah yang bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan putrinya..
Aku ingin punya ayah yang meski memiliki keterbatasan ilmu, tetap berupaya memberikan pendidikan terbaik bagi putrinya..
Aku ingin punya keluarga yang lengkap dan saling dukung seperti keluarganya..
Segala pengandaian yang muncul sekejap, otomatis, dan seketika saat melihat ayah temanku bicara, memang membuatku sedih dan seperti ada yang menekan dadaku. Namun, perasaan duka itu cepat beralih menjadi perasaan yang memberdayakan.
Aku memang tidak punya sosok ayah yang seperti temanku miliki, tapi aku punya Allah. Dan itu cukup. Hidupku memang tidak ideal, tapi Allah pasti punya maksud dengan memberiku skenario semacam ini. Allah pasti memberiku kapasitas yang tidak Ia berikan kepada temanku.
Aku belum tahu secara pasti, jelas, dan terang, kapasitas seperti apa itu. Aku hanya meyakininya. Jika aku memang tidak punya anggota keluarga sebanyak dan sehebat yang temanku punya—yang para prianya berlomba melindungi para wanita, yang sang ayah berdiri tegap terdepan melindungi dan memimpin istri dan anak-anaknya—maka Allah sendiri yang turun langsung mengurusi segala hajat hidupku, menjadi ‘sosok ayah’ dan pemberi nafkah bagiku dan Ibuk.
Dan aku memahami bahwa kekuatan—termasuk sokongan keluarga—yang temanku miliki memang sebanding dengan ujian yang ia peroleh. Bukan untuk membandingkan dengan ujianku—sebab setiap ujian adalah berat bagi para pemikulnya. Ujian itu bukan mana yang berat dan ringan, sebagaimana jawaban dari pertanyaan apa tujuan hidupmu? Tidak ada yang benar dan salah.
Ujian adalah perkara lulus dengan predikat Mumtaz atau justru tinggal kelas. Ujian adalah perkara bagaimana menghadapi dengan gagah berani dan pada saat yang sama juga tunduk dengan segala kerendahan hati. Bahwa kita tak punya apa-apa selain hanya bersandar pada Ia Yang Menguji.
Allah menguji manusia untuk apa, sih?
Untuk membimbing
Untuk mengoreksi
Untuk melindungi
Untuk memeriksa
Untuk menyempurnakan
Seluruhnya adalah lapis-lapis proses yang akan membawaku pada kunci jawaban agar selamat menghadap Allah, menjadi perempuan yang terhormat, menjadi perempuan yang pantas berada di barisan orang-orang salih di taman-taman yang hanya terbentang kebahagiaan.
Prosesi Akad
Aku pernah menulis tentang betapa pengabaian akan berdampak dahsyat bagi masa depan seseorang. Ketika melihat temanku menjalani prosesi akad, betapa membahagiakannya menjadi perempuan yang dicintai ayah, adik laki-laki, dan kini bertambah satu lagi, yakni suami.
Melihat itu, anehnya, pengandaian di kepalaku hanya muncul samar-samar. Aku tidak terlalu memikirkan ‘seandainya aku ada di posisi temanku yang dapat banyak kasih sayang dari anggota keluarga inti’.
Yang muncul di kepala dan hatiku hanyalah,
“Allah…. cukupkan hidupku hanya dengan-Mu sehingga ketika tak kudapati jalan cerita seperti yang kuinginkan, aku tetap bahagia. Asalkan aku mendapat ampunan dan cinta-Mu. Pasti Engkau punya maksud dengan memberiku hidup yang seperti ini. Engkau ingin aku menjadi wanita yang bagaimana, wahai Allahku?
Engkau ingin aku kembali kepada-Mu dalam keadaan seperti apa, wahai Tuhanku? Tolong beritahu aku. Akan kupenuhi semua yang dapat membuat-Mu ridha terhadapku. Ketika pada akhirnya semua yang ada di dunia ini akan berakhir dan pergi, maka yang tersisa hanyalah Engkau. Tolong jangan tinggalkan aku sendiri…”
Dan malam itu, prosesi akad yang hanya bilangan menit, telah mengubah cara pandangku terhadap hidup. Terhadap hakikat kehidupan, skenario yang sedang kujalani, dan bapak.
Kamu, yang sedang membaca tulisan ini, kalau kamu berharap tulisan ini ada hubungannya dengan jodoh, mohon maaf, kamu harus kecewa 🙂 Sebab yang kupikirkan pada prosesi akad temanku itu, semuanya bermuara pada bapak dan segala luka masa lalu yang akan kuputuskan rantai energi negatifnya dalam waktu dekat.
o0o
Aku dan temanku, punya proses serupa tapi tak sama dalam sebuah hal. Seluruhnya berhubungan erat dengan kesehatan mental. Aku tahu bagaimana jatuh bangunnya ia hingga sampai pada prosesi akad yang cepat dan mudah. Aku tahu secara detail perjuangannya selama 16 bulan. Bahkan mungkin dalam beberapa hal paling rahasia, hanya aku yang tahu. Padahal aku bukan sahabat kecilnya, bukan pula seseorang yang mengenalnya sejak lama sehingga tahu seluruh karakter baik buruknya.
Aku baru saja mengenalnya dan karena kami punya seorang sahabat yang sama—sahabat kuliahku adalah sahabat SD-nya—maka kami jadi mudah akrab dan cepat sekali bertukar kisah. Kami belum pernah bertatap muka secara langsung bahkan! Hanya video call, seringnya voice call, karena dia tinggal di luar negeri.
Allah menghubungkan kami, dengan cara unik, sampai kemudian kami saling menguatkan. Setelah kehidupan baru yang ia miliki, aku tak lagi berharap banyak kami akan bisa mengobrol panjang sebagaimana sebelumnya. Dia telah menjadi pakaian bagi pasangannya, maka obrolan kami takkan seleluasa saat kami masih sendiri.
Tentu saja dari segi waktu harus ia prioritaskan dengan suami dan keluarga barunya. Dan juga waktu-waktu bersama keluarganya di Indonesia, serta sahabat-sahabatnya yang menikmati euforia kebahagiaan pernikahannya.
Yang datang akan pergi. Yang menetap akan berpindah kembali.
Jika kami tak punya lagi kesempatan untuk mengobrol, maka biarkan doa yang bicara. Bersua tak harus di dunia. Masih ada surga seluas langit dan bumi yang menanti kami. Aku bersyukur telah Allah hadirkan sosoknya ketika aku sedang jatuh dan butuh bantuan untuk bangkit. Sekarang aku telah mengisi amunisi untuk menempuh perjalanan berikutnya, berjumpa orang selanjutnya yang entah siapa dan bagaimana Allah akan menghadirkannya untuk menemani pengembaraanku.
Baarakallahu fiikum jamii’an. Bismillahi tawakkaltu ‘alallahu laa hawla walaaquwwata illa billah… []