Membaca buku yang satu ini mengingatkanku bahwa pekerjaan sebagai wartawan adalah pengalaman terbaik yang pernah kumiliki. Setelah menyelesaikan 25 bab, ada beragam perasaan yang muncul; marah, bahagia, rindu, malu.
Ya, aku pernah menjadi Fais!
Fais adalah seorang pemuda dengan pekerjaan sebagai juru warta/wartawan. Ia bertualang ke berbagai tempat untuk mengunjungi perempuan-perempuan yang kabarnya merupakan istri simpanan seorang politisi.
“Ini riset untuk keperluan menyusun novel.” Kurang lebih demikian alasan Fais acap kali ditanya perihal kepentingannya datang dan bertanya ini itu seputar kehidupan sang politisi.
Berkelana dengan Banyak Wanita
Proses riset yang dilalui Fais demi mendapatkan informasi akurat mengenai para istri simpanan Tuan Beransyah, membuat pemuda tersebut akhirnya terlibat jauh dengan para wanita itu.
Kadang ia merasa tak seharusnya tergoda dengan wanita-wanita kenalannya. Uniknya, penjelajahannya pada banyak perempuan justru menjadi petunjuk ke mana dan kepada siapa hatinya menambatkan sauh.
Sebagaimana nasihat Steve Jobs, hidup itu seperti rangkaian red dots – titik-titik merah yang saling terhubung. Kadang kita tidak tahu mengapa titik itu ada. Namun, ketika polanya sudah terbentuk dalam sejarah hidup ini, barulah kita sadari mengapa titik-titik itu perlu muncul di hari-hari yang lampau.
Barangkali begitulah hidup Fais. Berkelana dari satu wanita ke wanita lain. Tanpa bermaksud apa pun, pengelanaan panjangnya secara tak langsung menunjukkan bahwa Fais tengah mencari sesuatu entah apa.
Semua tempat dan wanita yang ia singgahi adalah orang yang berbeda; tempat tinggal, watak, keturunan, dll. Namun, mereka adalah serangkaian takdir yang harus dilalui Fais untuk menemukan kesejatian.
Pertaruhan Idealisme
Sebetulnya, wartawan adalah jenis pekerjaan yang sangat cocok bagi organisatoris. Mereka yang semasa kuliah menjadi aktivis, kemudian bertekad untuk mempertahankan idealisme sampai mati.
Hanya saja, akan selalu ada celah yang membenturkan idealisme dengan realitas dalam sebuah pekerjaan. Apa pun bentuk pekerjaannya.
“Ihwal ini amat memalukan dan merusak citra dunia wartawan. Namun, apa hendak dikata, … Mereka telah hidup mapan dengan cara meminta-minta dan menerima amplop dari sejumlah pejabat serta kepala dinas yang tidak kalah bodohnya, tidak ubah kelakuan mereka seperti pengemis yang menyedihkan.” (hal 224)
“… masih bisa membusungkan dada dengan bangga, dengan tetap berharap penghasilan dari belas kasih para pejabat semata, …” (hal 224)
Konflik Kurang Tajam
Selama proses menuntaskan novel ini, aku merasa seperti sedang naik kuda-kudaan di komedi putar pasar malam. Tidak ada yang mendebarkan, mengagetkan, semuanya biasa saja.
Meski konflik sengaja dibuat demikian oleh penulis, menariknya, kisah ini memang berangkat dari idealisme yang dicederai oleh realitas jalanan. Modal hidup yang demikian besar, perut yang harus setiap hari diisi, dan rutinitas yang selalu menagih jatah bulanan.
Kenyataan manusia dan bising bumi yang dihuninya adalah dokumentasi peritiwa yang menguatkan kisah dalam novel ini. Dokumentasi dalam bentuk narasi yang ditulis dengan lihai; sederhana, tapi menyentuh nurani.

idwriters.com
- Judul Buku : Burung Terbang di Kelam Malam
- Penulis : Arafat Nur
- Penerbit : Bentang Pustaka
- Cetakan : Pertama Edisi II, Februari 2014
- Tebal : 376 halaman
- ISBN : 978-602-7888-93-7
Arafat menunjukkan bagaimana pergulatan batin Fais sebagai juru warta yang hendak menjaga kemurnian nurani dan kebenaran-kebenaran akan tulisannya. Namun, ia terjebak pada fakta bahwa hajat hidupnya lebih butuh untuk diperhatikan dipertahankan melalui imbalan dari Sang Politisi. Fais diliputi rasa bersalah.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Yap, silakan menikmati pesan-pesan bernas di dalamnya! 😀
Diunggah pada 21 Juli 2017
di perpustakaansekar.wordpress.com