Inner Child dan Pesan dari Seorang Pembaca

Sejak kecil hingga usia 13 tahun—saat orangtua bercerai—adalah masa-masa sulit bagi hidup saya. Apalagi setelahnya, lebih menantang lagi. Sebab saya dan ibu harus berjuang menyembuhkan luka dan bangkit membangun masa depan. Berdua saja. Keadaan yang serba sulit memaksa diri saya untuk bisa berpikir dan bersikap dewasa sedini mungkin, mandiri, taktis, solutif serta adaptif. Kalau banyak orang menganggap anak tunggal biasanya dimanja, tidak demikian dengan saya.

Kalau orang-orang lihat hidup saya kok enak sekali sekarang. Percayalah, perlu tahun-tahun yang menyakitkan untuk sampai pada titik ini. Saya menulis unggahan ini bukan untuk mengeluh, tapi untuk menguatkan diri saya sendiri. Untuk mengingat kembali bahwa saya harus berterima kasih pada banyak hal, pada banyak orang, yang barangkali diam-diam mendoakan dan menguatkan. Hanya saja, barangkali saya tidak tahu.

Jalan hidup yang demikian itulah yang pada akhirnya membentuk diri saya sekarang. Negatifnya, saya jadi insecure dan mudah sekali trauma, apalagi terhadap laki-laki. Saya paham sekali ini masalah psikologis yang harus saya selesaikan. Buku-buku yang saya baca dan seminar psikologi yang saya ikuti bolak-balik, rasa-rasanya cuma numpang lewat.

Ketika teman-teman saya ribut bicara soal pernikahan, saya menyingkir. Bagi saya, pernikahan itu terlalu sakral untuk dijadikan topik candaan lalu dengan mudahnya memburu orang agar cepat-cepat. Memang menikah cuma makan cinta? Cuma buat senang-senang? Menikah untuk cari pasangan yang bisa memperhatikan dan mengurusi? Kenapa tidak kamu nikahi saja seorang suster?

Oleh sebab tulisan saya tentang inner child yang pernah saya buat beberapa waktu lalu, seorang perempuan mengirimi saya pesan lewat Instagram. Saya tahu, saya tidak sendiri. Dia juga tidak seorang diri mengalami kesulitan itu. Pandangan saya langsung buram. Saya bisa merasakan betul kesakitan yang dia alami.

Sejujurnya, saya tidak bisa menjawab pertanyaannya. Segala macam jawaban sabar, semangat, berserah kepada Tuhan, dan kata-kata serupa yang ingin saya beri, sepertinya hanya akan terdengar kering dan lebih mirip tukang jualan obat. Diulang-ulang dan lewat begitu saja. Akhirnya, saya cuma bilang, saya juga masih dalam tahap memulihkan diri. Saya tidak tahu kapan akan sembuh. Sampai detik ini, sampai tulisan ini saya unggah pun, saya masih berusaha berdamai.

Saya mengalami perdebatan dalam diri yang telah berlangsung lama dan saya tidak bisa memastikan apakah sekarang sudah selesai atau belum. Saya pikir, selama hidup, akan selalu ada pertengkaran dalam diri kita. Sebagaimana bila berhadapan dengan orang lain, yang bisa kita lakukan untuk meredam pertengkaran itu adalah berdialog. Berbincang dengan diri sendiri. Merenung. Muhasabah. Ya, semacam itu.

***

Untuk Mbak yang baik,
Semoga hidupmu senantiasa dilimpahi ketenangan, kebahagiaan, dan keberkahan…

Aku minta maaf karena kesulitan menjawab pertanyaanmu. Saat pertama kali pesanmu sampai ke kotak suratku, aku tahu aku akan terus memikirkan ini, entah sampai kapan.

Apa yang kulakukan selama ini, selain mengikuti kelas-kelas psikologi, aku berbincang dengan diriku sendiri. Kubiarkan air mataku keluar. Sederas-derasnya. Ketika aku sedang berdialog itu, berkali-kali aku memohon maaf atas seluruh kesalahan sikap, tutur kata, dan tindakan yang barangkali telah menyakiti hati orang-orang yang kusayang.

Aku juga berterima kasih.
Atas seluruh kebaikan yang kudapat. Atas keterbimbingan, yang dengan itu, kini aku bisa berdiri tegap dan melihat masa lalu bukan sebagai sesuatu yang harus dibalas, tapi sebagai teman yang butuh pelukan.

Aku berterima kasih atas hidup yang mendewasakan. Meski dikepung kesulitan, aku masih dikelilingi orang-orang baik. Termasuk Mbak. Adalah orang baik yang Tuhan kirim untukku. Aku masih diselamatkan dan tumbuh dewasa tanpa mengalami kekerasan lagi.

Bukankah bapakku menjadi demikian juga karena orangtuanya?
Seharusnya aku kasihan, bukan membencinya. Sebab dia juga jadi korban.
Ini serupa bola salju. Terus saja bergulir dan membesar jika aku tidak menyadari kekeliruan ini. Dan tentu saja aku harus berterima kasih karena aku telah menyadari. Aku juga telah menerimanya sebagai tugas yang wajib kuselesaikan. Sehingga anak-anakku kelak akan merasakan cinta yang untuh, kasih sayang yang penuh, dan mendapatkan teladan terbaik dari orangtuanya sendiri.

Setidaknya itu dulu.
Aku minta maaf dan berterima kasih.

bogor, pagi yang mendung, dan gerimis
Minggu, 7 Februari 2021 – 9.23 AM

7 tanggapan pada “Inner Child dan Pesan dari Seorang Pembaca

  • Semangattt ya Mbak Sekar, untuk seseorang yang sedang di fase perlu dealing dengan innerchild saya sendiri, sayapun terkadang merasakan kebuntuan karena merasa tidak kunjung bisa memaafkan. Padahal jika dipikir-pikir saya tidak mengalami kejadian yang amat hebat yang melukai innerchild saya, akan tetapi mungkin karena saya memang terlahir sensitif secara emosional jadi mudah terluka dgn pengalaman-pengalamaman yanh tidak saya alami secara langsung.




    0
    • Pelukk! Insyaa Allah kita kuat Mbak! 💪🏽 Terima kasih utk semangatnyaaa ❤️ Inner child saya ini sebetulnya nggak sampai mengganggu banget, tapi saya pribadi nggak mau punya beban masa lalu yg berpotensi terbawa di masa depan. Semoga Allah mudahkan jalan kita ya mbak ✨✨

  • Baru berkunjung ke blogmu dan lihat judul tulisan ini jadi nggak bisa kalau nggak baca. Berdamai dengan inner child ini bukan perkara mudah, karena ini akumulasi yang pada masanya bisa meledak di kemudian hari. Aku doakan semoga kamu segera berdamai dengan innerchild kamu ya karena buat nyembuhinnya bukan menghapusnya tapi berdamai.

    Oya jadi inget percakapanku sama mbak Dila, kemarin dia lagi baca buku yang isinya kita harus bisa membedakan antara fakta dan tanggungjawab. Fakta adalah sesuatu yang telah terjadi dan tidak bisa kita ubah, sedangkan tanggungjawab adalah sesuatu yang bisa kita kendalikan. Nah, pengalaman kamu ketika kecil itu adalah fakta yang tidak bisa kamu ubah. Sedangkan respon kamu terhadap kenangan tersebut adalah tanggungjawab kamu. Tanggungjawab kamu mau tetap terluka atau berdamai dengan hidup bahagia. Kamu lah yang bertanggungjawab terhadap kebahagiaanmu. Tetap semangat ya.

    • Makasih dukungannya, Ditaaaaa! Iyaa, memori itu nggak mungkin aku hapus karena di antara sekian banyak kejadian menyakitkan, ada juga yang bisa aku ambil pelajaran dan memang ada efek baiknya di kemudian hari (di waktu sekarang maksudnya) ❤️

  • Seneng banget ketemu tulisan inner child mb sekar…saat kita jd orangtua dan tanpa sadar kita telah membuat luka anak kita ..apa y sebaikny kita lakukan mb sekar…semoga ada pencerahan dan saran dr mb sekar…saya tunggu y mb…trimakasih

Tinggalkan Balasan ke Sekar Batalkan balasan

error: Content is protected !!