
goodreads.com
Judul : My Bittersweet Marriage
Penulis : Ika Vihara
Editor : Afrianty P. Pardede
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun terbit : 2016
ISBN : 978-602-02-8243-5
Tebal : 349 hlm.
MBM ini berkisah tentang adaptasi sepasang pasutri baru. Mulai dari adegan perjodohan oleh orangtua masing-masing sampai mereka berhasil punya anak. Awalnya nggak cinta, tapi mereka berkomitmen untuk menjalani dan mencoba saling mencintai. Nah, buat saya, ini udah poin plus, nih. Jalan cerita keseluruhannya bener-bener sesuai dengan kehidupan nyata. Bisa kok menikah dulu baru mencintai. Nggak melulu harus pacaran.
Nggak ada tuh adegan orangtua maksa anaknya dijodohkan karena utang budi lah, maksa-maksa lah, ngancem-ngancem, pake adegan orangtuanya sakit nyawanya terancam kalau anaknya nggak menuruti permintaannya. Saya bersyukur, waktu tiga jam saya untuk baca novel ini nggak sia-sia karena nggak ada adegan sinetron kayak gitu. HAHAHA.
Yaa zaman 4.0 begini masih ada aja sih orangtua tukang paksa begitu, tapi hari gini gitu lho. Dialog orangtua dan anak lebih diutamakan ketimbang pemaksaan sepihak tanpa ada kompromi.
Ini soal perjodohan yang coba dijalani dengan sebaik-baiknya. Memang kurang dijelaskan di sini alasan masing-masing dari mereka mau lanjut menikah itu karena apa. Saya cuma menangkap, Hessa akhirnya mau karena keyakinan sekaligus janji Afnan untuk menghadirkan kehidupan yang nyaman, sekaligus penjelasan ayah Hessa kalau bibitnya Afnan ini nggak main-main. Dari keluarga terhormat.
Sejujurnya, kalau bukan karena diksi, dialog, dan plot, saya nggak akan baca sebuah novel sampai selesai. Boro-boro selesai, malah biasanya saya cuma baca beberapa paragraf awal di bab 1 lalu langsung setop kalau diksi dan dialognya udah kerasa nggak masuk akal.
Saya nggak mau waktu saya terbuang percuma. Sejak tingkat akhir kuliah, saya mulai selektif milih bahan bacaan. Nggak lagi melahap semua buku. Saya cuma mau baca karya sastra klasik dan novel yang kualitas 3 unsur ini oke menurut selera saya pribadi.
Kedengeran angkuh nggak sih? LOL
Plotnya Rapi
Saya suka cara penulis membangun ceritanya dari awal sampai akhir. Nggak ada konflik yang aneh-aneh, semisal suami kecelakaan pulang kerja pas hujan petir, istri hamil terus kepleset atau ketabrak kendaraan lalu keguguran, dan adegan klimaks yang semacam itulah, yang terlalu drama.
Semua alur dan adegannya cenderung biasa aja. Sederhana. Ide cerita yang tipenya slice of life begini mesti hati-hati. Dia persis pedang samurai yang kedua sisinya bisa sama-sama membunuh. Tema dan adegan sederhana begini rawan dianggap klise dan membosankan. Atau justru bisa jadi kisah yang menyentuh dan mengaduk-aduk perasaan pembaca. Saking sederhana dan sesuai dengan kehidupan nyata.
Semua bergantung pada eksekusi. Gimana cara penulis menyajikan cerita yang amat sederhana ini hingga bisa dinikmati dengan cara baru. Lebih manis, lebih hangat, dan beda dari cerita bertema serupa.
Nggak ada ide original di dunia ini. Yang kemudian akan membedakan adalah cara mengeksekusinya, cara menyajikannya, presentasinya.
Dialognya dan Diksinya Nggak Murahan
Sisi romantisme antar pasangan itu nggak mesti digambarkan lewat kata-kata cinta, sayang, lalu diperjelas oleh adegan ranjang dan terus-terusan kissing, touchy. Nggak mesti begitu yaelah. Romantisme dan kasih bisa ditunjukkan lewat, misalnya,
“Sini, aku bantu, ya,”
“Nanti pergi bareng aku. Jangan sendirian.”
“Kamu sakit? Kita ke dokter.” Lalu Afnan langsung menelepon rekan dokternya, diminta ke flat, tanpa perlu persetujuan istrinya. Ini baru manly sekaligus romantis tanpa perlu kata-kata klise.
MBM porsinya pas. Kata-katanya Afnan dalem banget, apalagi waktu menjelaskan soal kekuatan seorang wanita, khususnya ibu. Itu sekaligus menunjukkan kalau dia sayang, kagum, dan hormat dengan ibunya.
Saya kira, cara menyusun diksi supaya mengalir dan nggak klise itu salah tiga kuncinya ada pada deskripsi kegiatan, latar tempat, dan suasana yang kuat. Untuk bisa menghasilkan ketiganya, memang perlu riset super panjang dan dalam, sih. Hessa ini ngapain aja selama tinggal di Aarhus. Mengurus masalah kesehatan, misalnya. Riset deh bagian ini. Masalah kesehatannya apa, gejalanya, cara menanganinya.
Terus kondisi di Aarhus kalau 4 musim gimana, tempat mana aja yang sering didatangi Hessa dan Afnan, dll. Lalu Ketika dalam kondisi adaptasi berumah tangga begitu, ditambah masalah kesehatan, belum lagi musim dingin yang super menggigil, ini suasana yang perlu ketekunan dan kehati-hatian menyusunnya. Kalau berhasil mengeksplorasi dan dapet kuncinya, akan sangat membantu penulis untuk menghadirkan diksi yang nggak itu-itu lagi. Yang baru, yang segar.
Perbedaan Cara Berpikir Tergambar Jelas
Afnan ini logikanya kuat banget. Apa-apa dipertimbangkan secara matematis dan rasional. Beda sama Hessa yang apa-apa dirasa, suka menebak-nebak, perasaannya dominan. Saya kira pakai POV 1 bisa lebih mudah eksplorasi pikiran-pikiran tokoh utamanya. Tapi ini pakai POV 3 dan berhasil.
Logisnya laki-laki dalam diri Afnan kelihatan dari cara Afnan mengungkapkan isi kepalanya, nggak pekaan, mau menerima bantuan mamanya untuk dijodohkan, kapan Hessa siap hamil, sampai memilih tinggal di Indonesia atau tetap di Aarhus (bagian ini melibatkan perasaan tapi tetep pakai logika sih), dll.
Kekurangan Ceritanya
Ada kesalahan-kesalahan kecil yang saya maafkan (hilih!) dan ada yang menurut saya harus saya jelaskan di sini karena cukup mengganggu.
Pertama, ketepatan PUEBI. Saya mau bicara soal tanda baca dulu. Ada banyak penempatan tanda seru yang sangat mengganggu. Kalau dalam jarak dekat, saya pikir nggak mungkin suami akan manggil istrinya—dan sebaliknya—dengan berteriak. Tanda seru identik dengan teriakan. Kalau memang harus pakai tanda seru sebagai penanda intonasi suara yang meninggi, seharusnya bisa ditambahkan kata ‘pekik’. Artinya, teriakan tertahan. Apa setiap manggil pasangannya harus teriak melulu? Ini nggak enak dibaca.
Saya juga sangat nggak nyaman dengan kata batin Hessa yang sering ditulis pakai tanda kutip. Harusnya tanpa kutip dan ditulis miring.
Contoh:
“Aku nggak nyangka menikah sama kamu itu bakalan sesulit ini.” Hessa mengeluh dalam hati. (Hal. 262)
Seharusnya cukup begini:
Aku nggak nyangka menikah sama kamu kitu bakalan sesulit ini. Hessa mengeluh dalam hati.
Saya pikir, naskah ini sudah melewati pemeriksaan editor dan proofreader, tapi mungkin luput ya karena kerjaan editor kan segunung. Meski saya bikin pemakluman sendiri, tapi tetep aja kesel WKWK karena itu kan hal sepele. Masa’ sih kelewat? Harusnya yang kayak gini tugasnya penulis aja. Self editing sebelum naskah masuk penerbit.
Kedua, adegan kissing sebelum menikah. Buat saya pribadi aja ini, sih, itu sangat mengganggu. Well, walaupun mereka bakal nikah juga ujung-ujungnya, tapi harusnya adegan itu bisa disimpan setelah selesai akad. Lalu dengan first kiss Afnan itu, Hessa jadi bertambah rasa cintanya karena muncul pemahaman baru bahwa ternyata suaminya ini nggak pernah aneh-aneh sama perempuan, bisa menjaga nafsu.
Ketiga, alasan Afnan jatuh cinta dengan Hessa nggak jelas. Seharusnya alasan Afnan menikahi Hessa bukan semata karena cantik dan menghargai persahabatan mamanya. Oh ya, dan nggak mau menyakiti hati mamanya (?). Afnan bilang, dia setuju dijodohkan demi efisiensi waktu karena dia harus fokus dengan karier. Tapi kemudian apa? Jatuh cinta pada pandangan pertama? Kan aneh. Walaupun sebagian orang masih percaya cinta model begitu ya, first sight. Tapi untuk orang selogis dan sematematis Afnan, lebih keren kalau dia punya alasan-alasan kenapa mau dengan Hessa.
Saya membayangkan, Afnan punya alasan semacam, “Aku setuju dengan pilihan mama karena aku tahu perempuan pilihan beliau pasti baik, pandai menjaga diri, nggak centil, pintar, dan mandiri. Aku butuh pendamping yang kokoh karena hidup kita bersama nanti nggak akan mudah. Ada kalanya saat kita sama-sama lelah, kita bisa saling menguatkan.”
Semacam itulah. Tapi itu karangan saya ya, penulisnya nggak nulis begitu. Hahaha.
Keempat, Afnan too good to be true. Saya tahu penulis mengeksplorasi kelemahan menuju perbaikan dalam diri Afnan. Kesadaran Afnan bahwa ambisinya mungkin telah melukai Hessa. Hesaa udah berkorban, masa’ dia nggak bisa? Sumber kebahagiaan yang Afnan pikir awalnya itu karier, tapi ternyata bukan. Pusat kebahagiaan sejatinya adalah Hessa. Yang awalnya nggak kepikiran wanita sama sekali dalam hidupnya, bisa berubah dan tiba-tiba jadi selalu mengkhawatirkan perempuan yang kini dicintainya.
Ini udah oke, tapi penulis harus mengeksplorasi lagi isi hati Afnan ke Hessa waktu lihat istrinya uring-uringan, sedih melulu, minta pulang terus ke Indonesia, dll. Afnan tentu punya rasa kesal dan capek, kan? Sisi manusiawinya ini yang kurang tajam dimunculkan. Jadi kesannya Afnan itu malaikat banget.
Dan saya benci dengan tokoh yang baiknya nggak ketulungan macam ini hahaha. Afnan pernah ngambek dan pergi dari rumah untuk menyendiri, tapi kemudian dia menjelaskan kalau itu dia lakukan untuk merenungi kesalahannya.
Oh, come on! Afnan pergi gitu aja cuma mau menghirup udara segar tanpa perlu berpikir apa kesalahannya pun gapapa banget! 😀 Dia duduk ngopi di kafe cuma buat bikin pikiran tenang biar nanti bisa ngadepin istrinya lagi, saya pikir yang begini lebih manusiawi.
Penulis seharusnya memperlihatkan sesi adaptasinya Afnan dengan kehidupan yang awalnya super maskulin, dingin, lurus, sepi, jadi tiba-tiba berwarna, ada yang mencereweti, ada yang bergantung padanya. Di satu sisi, Afnan merasa lebih kuat karena fitrahnya sebagai laki-laki jadi utuh dengan kehadiran dan ketergantungan Hessa padanya. Tapi di sisi lain, melelahkan juga ternyata pernikahan itu. Harus mau mengalah, saling meredam ego, nggak bisa selalu dominan mentang-mentang laki-laki.
Afnan pun sangat luwes beradaptasi dengan kehidupan rumah tangga. Well, yeah, dia ada proses adaptasi juga, sih, tapi terlalu smooth. Coba dibikin meledak sekalian. Dan itu wajar, tetep relate dengan kehidupan nyata—kalau ini yang dikhawatirkan penulis, kelihatan terlalu sinetron, misalnya—
Kelima, adegan ranjang nggak perlu ada. Sedikit memang. Obrolan-obrolan ‘jorok’-nya Afnan juga, seharusnya dihilangkan aja. Lucu, sih, tapi
Secara keseluruhan, novel ini saya kasih bintang 4.5/5—termasuk angka besar yang jarang-jarang saya kasih—karena idenya sederhana, sehari-hari banget, romantisnya nggak murahan, dan berhasil mengaduk-ngaduk perasaan saya. Terharu, ngikik, lalu merasa hangat, gemas, gituuu aja terus bolak-balik. Mirip roaller coaster. Nggak semua buku bisa bikin saya terlarut ke dalam alur ceritanya.
Dan satu lagi,
Pernikahan tidak lantas menghambat proses aktualisasi perempuan. Afnan justru pengen Hessa kuliah lagi, cari kesibukan di luar, yang bisa membahagiakan dan nambah wawasan istrinya.
Buat saya, ini sebenar-benarnya cinta.
Yang menguatkan dan menumbuhkan. []
baca GRATIS dan LEGAL di Ipusnas,
di meja kerja, pagi,
dan belum mandi
LOLOL
wah good read will bring a good mood 😀