Debut Pertama

Sejujurnya, saya sedang tidak baik-baik saja.

Saya memenangi salah satu kategori dalam kompetisi menulis skala Nasional. Ada enam kategori yang lolos, di antara 160 –malah hampir 170— naskah yang ikut serta. Juara satu, dua, tiga, novel favorit, novel dengan sampul terbaik, dan novel dengan jumlah pembaca terbanyak. Naskah saya lolos sebagai novel favorit.

Saya update status di media sosial, sebagaimana orang-orang pada umumnya yang beroleh prestasi. Sebagai bentuk apresiasi terhadap diri sendiri, juga dokumentasi bahwa pada yang pertama ini, Allah menghendaki saya untuk mencicipi kemenangan. Tentu saja saya dapat pujian bertubi-tubi dari teman, kolega, bahkan orang yang tak dikenal. Jumlah like tak banyak, tapi bertambah terus sejak menit pertama saya mengunggah status itu. 74 penyuka, terakhir saya hitung. Entah sekarang ada berapa. Sepertinya tak sampai ratusan. Menyentuh angka 7, 8, 9 puluh sekian saja sudah mewah! 😀

Kira-kira, apa yang ada di pikiran kawan-kawan saya? Sekarang Sekar sedang bahagia, Sekar sedang menikmati kemenangannya. Siapa yang tidak bahagia dapat prestasi besar pada langkah pertamanya?

Saya pernah cerita di sini kalau debut pertama saya ini sebetulnya sudah dimulai dari perjalanan panjang bertahun-tahun sebelumnya. Panjang dan menyedihkan. Saya tahu, setelah ini, saya akan dihadapkan pada persimpangan yang butuh lebih banyak energi. Sebab saya akan bertemu kegagalan-kegagalan yang jauh lebih menyakitkan atau (mungkin) kemenangan-kemenangan yang melenakan.

Saya Bahagia, tapi…

Saya bahagia, betul. Namun, lebih banyak porsi perasaan… apa, ya, sebutan tepatnya? Sedih? Bukan juga. Sendu? Hmm… Pokoknya saya jadi lebih sering tercenung sendiri. Termangu tiba-tiba.

“Buk, semua memuji aku,” kata saya pada suatu petang di meja makan. Saya bicara demikian dengan wajah yang tanpa perlu lihat di kaca pun, orang-orang akan mengira saya habis di-bully, mengganti kata mengata-ngatai dengan istilah halus ‘memuji’.

Ibuk diam menyimak. Saya menganjur napas. Tanda bahwa tanpa perlu bicara, saya menunjukkan ketidakpuasan. Mungkin bagusnya disebut ganjil. Perasaan yang ganjil. Bukan begini seharusnya respon yang saya dapati dari diri sendiri sehabis dapat penghargaan menulis.

“Kayaknya aku butuh dikuatkan, deh, daripada dipuji terus.” Akhirnya keluar satu sumbatan di hati. Satu sumbatan ini kelihatannya jadi akar dari semua mood saya sejak kemarin-kemarin. Eh, bahkan sampai sekarang! Tapi sudah tersisa sedikit, sih. Tadi siang saya sudah tumpahkan semuanya selepas salat zuhur.

“Kenapa?” tanya Ibuk.

“Aku takut jadi lupa diri. Dulu pas dapat prestasi yang hampir mirip kayak gini, kan, aku pernah jatuh. Berkali-kali. Aku takut yang sekarang juga begitu.”

“Lupain. Tiap kamu selesai ikut lomba, lupain semua yang berhubungan dengan lomba itu. Fokus ke novel berikutnya, ke lomba yang lain lagi. Kalo menang, bersyukur, tuntasin rasa senangnya sehari aja. Jangan lama-lama. Terus besoknya udah harus lupa sama prestasi kemarin. Jangan diingat-ingat lagi. Ya?” Ibuk agak memaksa persetujuan dari saya.

Saya jadi ingat, rasa sedih, kata psikolog, tidak boleh ditahan-tahan. Harus diikuti kemana maunya. Ini juga bagian dari tahap menerima, kan? Menerima hal-hal yang tidak sesuai dengan apa mau kita. Sedih saja seharian, jangan dipaksa bahagia cepat. Nanti lama-lama juga reda, berdamai, lalu kondisi hati jadi membaik.

Nah, kalimat Ibuk tadi itu, mengartikan bahwa pada setiap kejadian, pada setiap hal, apa pun judulnya, selalu bahkan hampir pasti punya dua sisi yang saling membelakangi, tapi sama-sama mengimbangi. Sedih dan bahagia itu, misalnya. Harus dikeluarkan sesuai porsinya. Harus dituntaskan, jangan ditahan-tahan.

Sebagai seorang muslim, tentu kadar ‘menikmati’ sedih dan bahagia itu tidak boleh terlalu berlebihan. Jangan terlalu lama tenggelam dalam keduanya. Sebab bila terkontrol dengan baik, adanya kedua perasaan itu justru akan menguatkan.

“Kok bisa, sih, jadi naskah favorit? Apanya yang bagus dari tulisanmu?”

Itu pertanyaan seseorang dalam imajinasi saya.

Entahlah. Sampai detik ini pun saya sedang mencari-cari jawabannya.

Apa sesungguhnya alasan-alasan juri dan tim Storial memilih naskah saya sehingga bisa masuk kategori favorit? Bagian mana yang mengundang ketertarikan? Letak kelebihannya di sebelah mana?

Baiklah, barangkali pertanyaan soal ‘kelebihan’ itu jadi tanda bahwa kepercayaan diri saya belum sepenuhnya kembali. Masih inferior, masih malu, masih pesimis. Setidaknya satu yang sudah bulat sempurna: keyakinan bahwa Allah membantu. Full service! Setidaknya juga, Allah tahu, saya sedang dan akan terus berusaha untuk percaya bahwa tugas manusia adalah menjalani pilihannya.

Allah sudah menuliskan skenario hidup saya. Di dalam skenario itu, ada dua ruang yang Allah sediakan. Satu ruang (A) isinya pilihan-pilihan. Satu ruang lagi (B) isinya ketentuan yang sudah digariskan, tak bisa pilah-pilih. Pada ruang yang berisi pilihan, di situlah saya kemarin. Saya memilih untuk maju, menuntaskan tulisan yang sudah dimulai.

Saya pikir, tugas saya hanya itu, bekerja sampai selesai dengan sebaik-baik usaha. Kalaupun saya gagal, maka tak ada yang patut disalahkan. Memang tidak perlu juga. Allah sudah tahu itu belum jadi rezeki saya. Maka urusan rumit berikutnya adalah respon saya terhadap kegagalan itu. Sedihnya harus dituntaskan, tapi jangan kelamaan 😀

Haruskah Saya Sakit Dulu, Baru Bisa Begini Lagi?

Selepas menulis hampir 200 halaman marathon super kilat selama 20 hari kemarin, saya langsung sakit. Alergi kulit kambuh. Kalau ditengok, mengerikan XD Tidak ada gatal, tidak ada rasa sakit yang nyeri atau bagaimana. Cuma merah-merah dan begitulah pokoknya kulit saya. Hahaha.

Yang saya lakukan pertama setelah menyelesaikan naskah itu adalah menuntaskan rasa bahagia dan haru karena satu target yang saya canangkan kuat saat Ramadhan, selesai sudah. Kedua, saya tidur panjang. Hibernasi, tapi cuma dua hari. Mengambil jatah tidur yang hilang selama 20 hari sebelumnya. Ketiga, masih sembari mengobati kulit saya yang alergi itu, saya hapus semua informasi, poster lomba, dan riwayat selancar tentang kompetisi itu.

Pada poin ketiga, saya lakukan itu setiap habis ikut lomba. Menyingkirkan semua yang berkaitan dengannya, menutup rapat naskah, pindah ke konsep cerita berikutnya, cari lagi lomba lainnya. Move on.

Keempat, sekaligus tahap ritual terakhir, saya mengapresiasi diri sendiri. Selebrasi. Saya makan mie instan dua bungkus, tambah telur dua buah, tambah sayuran. Sudah, itu saja. Saya kira, selebrasi yang tepat seharusnya memang pada tahap ini. Saat naskah selesai. Sebab konsistensi dan perjuangan kita pada ruang yang dipilih secara sadar itu sudah sampai di ujungnya. Sudah selesai. Dengan proses yang tak kering oleh doa dan kurangnya waktu tidur.

Kekalahan maupun kemenangan, bagi saya itu hanya pemandangan selewat. Kita perlu menikmatinya, tapi cukup sekejap. Sebab bukan itu yang kelak akan Allah nilai dari diri kita. Namun, pada langkah pertama membuka pintu masuk ruang A, melewatinya sampai tiba di pintu keluar itulah penilaian yang sesungguhnya.

Saya rasa, ini kali pertama dalam seumur hidup saya betul-betul melakukan sesuatu sampai titik maksimal, sampai batas akhir tenaga dan pikiran. Penulis profesional yang kenyang teori dan jam terbang tinggi saja masih sering menghadapi macet ide, apalagi saya yang praktiknya nol meski pernah makan banyak teori. Tentu waktu yang kemarin saya pakai untuk menyelesaikan naskah 1990 ini bisa dibilang lambat.

Bagusnya, gara-gara itu memang saya jadi ada perbaikan pada naskah kedua dan ketiga dan berikutnya dan berikutnya yang akan saya buat terus. Ada atau tanpa kompetisi, saya akan terus berlatih. Insyaallah.

Apa memang harus sampai sakit begitu dulu, ya, baru kelihatan hasilnya? Artinya kita kerja keras sampai POLLL! Hahahaha.

Doa yang Mengejutkan (?)

Saat saya menyelesaikan naskah 1990 kemarin, kalau tak salah ingat, saya pernah membatin sesuatu selepas salat. Sesuatu itu barangkali terdengar kurang ajar. Waktu itu saya sudah selesai berdoa dengan menengadahkan tangan. Hanya saja, masih dengan diam yang lama dan panjang, rupanya doa itu belum selesai. Dalam hati saya bilang,

“Ya Allah… akhirnya aku bisa melalui enam, bahkan nyaris tujuh tahun, yang berat sekali demi hari ini. Demi menulis novel itu. Beri aku kabar gembira, Ya Allah. Apa pun itu. Bahagiakan hatiku. Kalau aku sedih, aku takut aku akan berhenti menulis. Aku takut, jalan yang selama ini kutempuh ternyata salah. Kalau sudah begitu, aku takut nanti jadi ikut menyalahkan-Mu.”

Saya tidak minta kemenangan. Saya hanya minta diberi kabar baik yang akan membuat hati saya bahagia. Lalu Allah berikan betul apa yang saya inginkan. Sampai pada titik ini, saya tergugu. Sesenggukan. Betapa panjang daftar kelalaian yang saya lakukan, tapi Allah tak pernah sedikit pun memendekkan rezeki dan kenikmatan-Nya kepada saya. Bahkan ditambah bertubi-tubi.

Sebetulnya, ya, kalau dipikir-pikir, masih jauh lebih banyak penulis yang mengalami kegagalan amat parah dibandingkan saya. Apalah saya ini. Baru menyelesaikan satu novel saja dramanya bisa panjang. Hahaha. Cengeng sekali. 😀

Lampu Merah di Jalan Simpang

Akhirnya kemarin pagi saya dihubungi admin akun Storial lewat pesan Instagram. Minta data diri yang harus dikirim lewat surel. Saya baru kerjakan hari ini. Setelah data yang diminta terkirim, saya balas pesan di Instagram itu.

Selamat sore, Admin. Saya sudah kirim data melalui surel sebagaimana yang diminta. Tolong sampaikan salam saya kepada tim juri dan kawan-kawan yang sudah menyeleksi naskah pada kompetisi #pulang. Terima kasih sudah bekerja keras dan percaya pada cerita 1990.

Kita tidak pernah tahu, pada langkah dan keputusan yang mana dari serangkaian sikap dan tindakan kita, yang akan mempengaruhi hidup orang lain.

Lomba ini sederhana dan kecil saja barangkali untuk sebagian orang. Mungkin juga hanya satu potongan mini dari besar dan banyaknya rutinitas pekerjaan kantor bagi kawan-kawan Storial. Namun, bagi saya, satu penghargaan ini sungguh mengubah segalanya. Saya pikir, sebetulnya hidup saya sudah berubah sejak pertama melihat poster lomba #pulang. Hanya saja, saya tidak menyadarinya. Tidak ada kebetulan-kebetulan.

Kepada tim Storial, semoga sehat selalu.

Salam hangat,
Sekar

Ya. Tidak ada kebetulan-kebetulan.

Semua cerita hidup kita sudah diletakkan pada lintasannya masing-masing. Hari itu, 8 Mei 2020, lintasan-lintasan kita menyatu pada jalan simpang. Ada lampu merah yang menandakan pemberhentian sekaligus perjumpaan pada apa dan siapa saja yang sebelumnya tidak pernah jumpa.

Pada lampu merah di jalan simpang, saya berjumpa dengan poster kompetisi itu. Ternyata, pertemuan singkat kami telah membawa saya pada jalan hidup yang tak lagi sama. Pada rutinitas yang akan berubah banyak. Pada waktu-waktu tidur yang tak senyenyak dan sebanyak sebelumnya.

Sebab, mulai 8 Mei 2020 kemarin, saat jari saya mulai membuat coretan kasar konsep cerita, saya sudah bertekad menjadi pribadi yang baru, yang tak lagi menyia-nyiakan kesempatan-peluang-juga anugerah nikmat yang bertahun-tahun lalu saya sia-siakan.

Allah, sepenuhnya terima kasih…
Kembali kuminta, bantu aku, agar selalu wawas diri
agar tak buru-buru merayakan segala sesuatu,
yang lebih tepat menjadi perenungan,
yang sepatutnya menambah kewaspadaan

Pada dua hal yang saling bersisian,
memunggungi maupun berhadapan,
bimbing aku agar tak berlebih-lebihan,
agar kegagalan yang kelak kuhadapi akan mengokohkan
agar kemenangan yang kuperoleh esok hari akan menambah ketakwaan

11 tanggapan pada “Debut Pertama

Terima kasih sudah membaca :D Apa pendapatmu?

error: Content is protected !!