Memangnya kenapa kalau makanan di piringmu habis, bersih tidak bersisa? Malu? Gengsi disangka lapar sekaligus doyan? Kalau memang lapar dan doyan, lalu kenapa?
Lalu yang menyuguhkan makanan mengamini, ikut menertawakan orang yang piringnya bersih. Kemudian mengakhiri tawanya dengan ungkapan bahwa itu cuma bercanda. Sungguh tidak pantas.
Saya lupa kapan terakhir kali saya menyisakan makanan alias makanannya tidak habis. Barangkali, sewaktu SMP. Itu yang terakhir.
Ingatan kuat soal adab makan ini, saya peroleh saat kuliah semester 4 atau 5. Ketika sedang mengajar, dosen saya yang satu itu, Prof D, selalu mengaitkan teori yang sedang kami pelajari dengan kejadian kontekstual. Di tengah cerita panjangnya –yang saya juga lupa beliau cerita apa– tiba-tiba beliau berpesan satu hal yang sampai detik ini, selalu saya ingat. Selalu.
“Di balik sebutir nasi yang sampai di meja kita, yang ada di depan kita dan siap untuk kita santap itu, ada kerja keras dan keringat banyak orang. Maka, jangan sampai kita menyisakan makanan di piring. Setiap mau mulai makan, ingat saja orang-orang yang sudah bersusah payah menyediakan sebutir nasi itu untuk kita.”
Ucapan beliau 6-7 tahun lalu yang selalu saya ingat dan akan terus diingat sampai kapan pun, insyaa Allah. Semoga diberi usia yang panjang dan barokah, Prof D.
Dari serangkaian ingatan buruk tentang Bapak, ternyata ada juga ajaran yang efeknya baik untuk saya sekarang; dilarang mengeluh, makan harus habis, dilarang makan sambil bunyi (kecap-kecap), sikat gigi 2x sehari.
Hanya itu yang saya ingat.
Saya bersyukur sekali punya orangtua yang sewaktu saya kecil, mencontohkan kebiasaan baik saat sedang makan. Fokus, rapi, bersih, tenang, cepat, sepi (alias tidak bunyi kecap-kecap), dan harus habis. Jadi tidak ada sejarahnya kami (saya, ibuk, bapak) makan disambi aktivitas lain. Kalau sedang makan, ya, makan. Tidak boleh ada kegiatan lain.
Maka, sewaktu saya masuk ke kehidupan selebriti akibat pekerjaan kantor, saya menemukan semua hal yang bagi saya sungguh sangat mengganggu itu. Suatu hari, kami makan bersama di restoran mahal. Mereka beli banyak menu, cuma dicicipi satu dua sendok, lalu dibiarkan begitu saja, tidak dibungkus untuk dibawa pulang.
Saya yang saat itu sudah kekenyangan karena ternyata satu porsinya besar sekali, memaksakan diri untuk terus mengunyah pelan-pelan sampai habis tak bersisa. Saya kunyah daging steak lezat dengan air mata dan emosi yang ditahan-tahan.
Pulangnya, sesudah kami berpisah jalan, saya menangis. Tergugu.
Tetangga sebelah rumah saya persis, seorang ibu yang ketika hamil anak bungsunya, kelaparan tengah malam. Beliau punya sekotak makanan, tapi hanya cukup untuk si sulung. Diberikannya sekotak itu kepada anaknya sambil beralasan sudah kenyang. Padahal, perutnya lapar bukan main. Suami? Jauh dari harapan karena hobi judi.
Akhirnya, beliau keluar rumah diam-diam, menuju rumah tetangga sebelahnya yang menggantung satu kantong plastik hitam di pagar rumah. Diambilnya kantong itu, lalu dibawa ke dalam rumah. Satu kantong plastik itu menyelamatkan dirinya sejenak pada malam itu. Apa isi kantong plastik itu?
Makanan sisa.
Makanan yang sengaja digantung di pagar supaya diambil kucing. Makanan yang sungguh tidak layak dikonsumsi manusia, apalagi ibu hamil! Makanan itu… bahkan kita tidak bisa menyebutnya sebagai “makanan” lagi. Sebab itu sampah.
Hanya mengingatnya saja hati saya sakit sekali. Bahkan ketika menulis ini, mata saya memerah. Saya sungguh membenci sifat dan tindakan orang yang hobi menyisakan makanan.
Saya sangat sangat setuju. Dari kecil sudah diajarkan bagaimana kita menghargai jerih payah orang tua mencari nafkah agar keluarga bisa makan. Jadi saya pun menerapkan hal yang sama pada anak di rumah. Jadi semua dimasak ya tidak berlebihan agar tidak ada yang terbuang.
Jadi ingat saya pernah marah sama asisten karena kedapatan membuang makanan yang tidak habis (padahal masih bisa disimpan). 🙂
Saya juga paling nggak suka menyisakan makanan. Apalagi yang berprinsip, beli banyak atau ambil banyak lebih baik daripada kekurangan. Kalau saya better beli cukup atau kurang, semisal ingin tambah tinggal tambah. Daripada berlebih dan akhirnya terbuang sia-sia.
Kalau saya cuma ingat pesan ibu saya, semisal makan nggak habis nanti petaninya menangis hehe. Itu lumayan melekat sih, karena mengingatkan saya untuk selalu sadar bahwa apa yang ada di meja saya merupakan jerih payah orang lain 😀
Suka kesal melihat kebiasaan menyisakan makanan. Pengen tau, apa sih yang ada dalam pikiran sehingga enggan menghabiskan makanan? ?
Saya pribadi termasuk sebel sama orang orang yang sok makan ambil banyak tapi tak dihabiskan..
biasanya aku selalu mencukupi porsiku sebelum mengambil nasi dan lauk di piring agar tak ada yang tersisa
Setuju…memang sebaiknya habiskan makanan. Ehm..tapi kalau bertamu lihat adatnya, kadang ada yang kalau makanan dihabiskan sampai licin artinya dia minta tambah. Pasti ditambahin sama tuan rumah. Mungkin perlu penjelasan.
Mubazir adalah larangan, memang anjuran dan larangan dalam aturan terkhusus ajaran Islam selalu ada hikmah di baliknya. Semangat, Mbak! ☺️