Ada saja sebagian orang yang entah selintas lewat atau sungguh-sungguh, berkeinginan menjadi orang yang dikenal luas, berpengaruh, punya banyak pengagum. Namanya terus-menerus disebut, dicari, diharapkan kedatangannya, dinanti ucapan atau tulisan-tulisannya, dan sederet tugas seorang selebriti atau barangkali sekarang lebih tepat dinamakan influencer. Orang yang memberi pengaruh, mampu memengaruhi yang lain untuk bergerak mengikuti kehendaknya.
Ada pula yang lebih suka mendengar dan mengamati saja, bicara seperlunya, bersenda gurau secukupnya, hidupnya minimalis sekali. Bertindak sesuai kebutuhan. Menghindari hiruk pikuk. Dari kedua ciri tersebut, mana yang ideal?
Tidak ada.
Anggap saja peran memengaruhi orang (influencer) merupakan bagian dari cara manusia memberi. Ada yang menyebutnya sebagai kontribusi atau dengan kata lain, bermanfaat. Dalam kamus hidup kita, memberi tidak butuh posisi. Kontribusi tak mengenal istilah tenar.
Berada dalam tempurung keong pun alias orang-orang tidak tahu siapa kita, manusia tetap punya tanggung jawab dan kewajiban yang sama. Sama-sama harus menjaga dan merawat bumi, sama-sama harus menjadi berguna bagi siapa saja. Tak peduli apa statusnya, influencer atau bukan. Bagi saya, menjadi influencer hanya soal keberuntungan, momentum. Bukan cara, apalagi tujuan.
Maka tak perlu kita ikut berbondong-bondong ingin punya panggung agar orang-orang melihat dan mengikuti. Meski atas nama kebaikan, tapi biarlah kita berjalan sesuai porsi kita masing-masing. Bila dirasa pantas, Allah punya cara sendiri untuk menaikkan derajat kita. Percaya saja.
Kita tidak sedang bicara soal kompetensi. Itu urusan lain. Tidak ada hubungannya dengan menjadi influencer berarti berkompetensi. Tidak menjadi influencer, artinya inkompetensi.
Ada orang yang punya kapasitas raksasa sebagai seorang pemimpin. Bila ia tampil ke depan, niscaya ia akan dapat tepuk tangan paling meriah, pusat perhatian paling menarik.
Namun, apa yang ia lakukan?
Duduk saja di belakang layar, mengamati keadaan. Jika sorak sorai kegembiraan yang mengudara, maka ia hanya tersenyum. Mengamini kesuksesan yang semoga membahagiakan semua orang. Lalu, bila tiba saat paling sulit dan berbahaya, ia akan berdiri paling depan. Melawan musuh, mendobrak keterkungkungan, menyelamatkan seluruh pasukan.
Halusinasi? Tidak. Ada orang model ini di sekitar kita. Saya pernah bertemu. Bukan cuma sekali dua. Berulang kali. Bukan lagi kekaguman, tapi doa yang saya ucapkan. Semoga Allah jaga orang-orang ini agar dunia punya penyeimbang.
Merancang Hidup Dalam Sebuah Peta
Saya mengenal anak-anak ini sekitar 2015-2016. Sepanjang saya membimbing salah satu ekskul di almamater sejak 2013, merekalah kelompok paling awet. Sejak kelas 10 sampai 12, kami tetap terhubung. Semoga seterusnya, hingga berjumpa kelak di surga.
Mereka adalah adik-adik yang setiap pekannya selalu membuat saya antusias belajar hal baru. Jika tiba waktu pagi pada hari Sabtu, kami akan berjumpa, melingkar di satu ruangan kecil di gedung belakang sekolah. Bercerita apa saja, kisah-kisah sarat hikmah, dan saling menyemangati untuk berbuat baik.
Dari mereka pula saya merenungi banyak sekali peristiwa pada masa lampau. Tentang penyesalan, tentang kerinduan, tentang tekad, dan tentang hakikat kehidupan. Bahwa tidak ada lagi di dunia ini, pada masa ini, yang bisa diharapkan, kecuali harapan yang hanya digantungkan pada nilai-nilai kebenaran yang diyakini.
Banyak sekali hal yang saya sesali sekarang. Sebab dahulu, tidak ada yang menasihati, tidak ada yang mengingatkan, sepenting apa tujuan dan visi-misi hidup. Seberapa berpengaruh bila kita merancang hidup untuk beberapa tahun ke depan.
Maka ketika bertemu kelompok kecil ini, tak saya sia-siakan kesempatan untuk mengucapkan berulang kali, “Tulis peta hidupmu. Lima tahun ke depan atau setidaknya satu tahun lagi. Apa yang hendak kamu capai? Apa target terbesarmu?”
Hidup tanpa arah adalah hidup yang terombang-ambing. Hanya mampu mengikuti arus sungai yang mengalir entah ke mana muaranya, melibas apa saja yang dilewati. Sampai tahap ini, setidaknya kita sudah mulai memahami capaian apa yang kita inginkan sebagai hasil dari rutinitas sekolah, beraktivitas sehari-hari.
Jangan Jadi Pengecut
Mengenal diri sendiri seribu kali lebih sukar daripada keinginan untuk mengetahui pribadi orang lain. Selama ini, tanpa sadar, sebetulnya kita terlampau pengecut, terlalu takut menengok ke hati paling dalam. Takut bila kejujuran yang ada di sana ternyata tidak sesuai dengan kehendak dan ekspektasi yang sudah dibangun sebaik dan serapi mungkin.
Jadilah berani! Manusia harus berani menempuh hidupnya. Sebab seseorang tidak akan berubah menjadi baik bila ia tak punya keberanian untuk melihat kekurangan dan kesalahan dirinya. Kemudian mengakui dan bertekad kokoh untuk berubah. Berani yang benar adalah berani dengan ilmu.
Sederhananya, bila dengan sangat mudah kita mampu menyebutkan 100 kekurangan dan 100 kelebihan diri sendiri dalam waktu 10 menit atau kurang, tandanya sudah sempurnalah mengenal dan memahami. Lalu dengan pengenalan tersebut, tak sulit bagi kita untuk bijaksana dalam setiap pikir, sikap, dan tindakan.
Sejatinya, semua manusia terus berproses mengenali dirinya sepanjang hidup. Tidak ada jeda istirahat, tidak ada kesudahan bahkan hingga keriput dan beruban. Ketika menulis ini, saya juga tengah bertengkar dengan diri sendiri. Dibandingkan dulu, saat masa-masa paling berapi-api, bukan lagi benturan yang saya rasakan, tapi penerimaan. Saya sedang berada pada fase middle life crisis.
Sejak tulisan itu saya buat, sampai sekarang, saya masih ada dalam tahap yang sama. Masih banyak pertanyaan, tapi hati sudah jauh lebih leluasa. Semoga senantiasa Allah lapangkan agar bersamaan dengan penyesalan, melimpah juga rasa syukur atas perjalanan di masa lalu.
***
Untuk Adik-Adikku,
Bertebaranlah di muka bumi Allah yang luas. Kelak, bila berjumpa dengan tempat dan orang-orang baru, pandai-pandailah membawa diri dan menempatkan segala sesuatu sesuai porsinya. Jangan pernah putus meminta agar dipertemukan dengan orang-orang hebat, orang-orang yang ahli dalam bidangnya, orang-orang yang jujur dan tulus. Sebab kini, kejujuran dan ketulusan demikian mahal harganya.
Jika berada dalam lingkungan yang punya kepala beraneka rupa, tetaplah menjadi dirimu. Tak masalah dianggap berbeda, bila memang dipandang demikian. Tak perlu malu. Jangan sibuk mencari perbedaan bilamana masih banyak kesamaan dalam hal lain; sama-sama ingin menjadi pribadi baik, sama-sama hendak mewujudkan mimpi membahagiakan orangtua, sama-sama berjuang untuk kesuksesan di masa depan.
Sebab hakikatnya, kelompok pertemanan ada bukan untuk menjadi sama, tapi untuk saling menasihati dan mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Saling melengkapi. Apa yang tidak ada padamu, boleh jadi ada dalam diri yang lain. Pun sebaliknya. Membaur, bukan melebur.
Jangan pernah berhenti memperbaiki diri. Biar saja pelan, tapi pastikan bahwa setiap hari ada ilmu dan hikmah yang menghujam dalam dada. Setiap bertambah usia, pastikan bahwa kamu bukanlah orang yang sama sebagaimana kemarin.
Makin dewasa, makin banyaklah mengingat kematian. Sebab hanya dengan mengingatnya, tingkah laku kita menjadi terkendali. Tidak mudah terperosok ke dalam tuntutan kelompok yang seringkali abai terhadap nilai-nilai yang kita pegang.
Jaga kehormatan dan kualitas diri. Demikianlah cara membangun integritas dirimu agar dicintai dan disegani kawan, juga dihormati lawan. Bagaimana caranya? Gigit hal-hal prinsipiel berkaitan dengan syariat Islam menggunakan gigi geraham. Artinya, perjuangkan dan jangan pernah dilepas sampai mati. Keyakinan terhadap kebenaran itulah yang akan menyelamatkan.
Salam sayang,
Kakakmu yang fakir
Iyaa benerr. Aku juga pernah ada di tahap itu. Seiring berjalannya waktu, nanti kita bakal nemu ritme yang pas buat diri kita sendiri. Kita yang paling tahu diri kita. Berbuat baik aja pokoknya haha. Soalnya nanti di akhirat, orang-orang yang terpukau lihat kita tampil di depan, nggak bakal bantuin kita juga buat mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita. Ujung-ujungnya bakal sendirian lagi. 😀