Demikianlah Miyamoto Musashi dikenal luas di seluruh dataran Jepang, hingga saat ini. Ia dianggap sebagai legenda besar, samurai yang pertama menemukan teknik dua pedang.
Musashi yang punya nama kecil Takezo ini menghadapi titik balik hidupnya setelah bertemu dengan seorang pendeta bernama Takuan di Kuil Shippoji, Mimasaka, Miyamoto. Takezo yang liar dan tukang rusuh, di bawah tempaan Takuan, telah berevolusi menjadi seorang pendekar tangguh dan terhormat di negaranya.
Potensi Tersembunyi Takezo
Takuan mengurung Takezo selama tiga tahun di salah satu ruangan dalam puri seorang daimyo (tuan tanah) Ikeda Terumasa, Puri Himeji. Tentu Takezo dikurung bukan dalam keadaan diikat atau perlakuan semacam kepada narapidana. Takuan berhasil menundukkan Takezo bukan dengan senjata tajam.
Sebab Takuan menyadari betul dalam diri pemuda itu ada satu kekuatan besar yang sulit didefinisikan. Namun, potensi kekuatan itu kelak akan membuat si tukang rusuh menjadi seseorang yang keberadaannya akan sangat diperhitungkan. Di puri itulah, dalam sebuah kamar yang letaknya paling atas, Takezo mempelajari bertumpuk-tumpuk buku, salah satunya berjudul Seni Perang karya Sun-tzu.
Barangsiapa mengenal seni perang, tak akan serampangan ia dalam gerakannya. Ia kaya akan karsa dan membatasi kemungkinan. Karenanya, Sun-tzu berkata, “Barangsiapa mengenal dirinya sendiri dan mengenal musuhnya, ia senantiasa menang dengan mudah. Barangsiapa mengenal langit dan bumi, ia menang atas segalanya.”
Ketika Takuan menjatuhkan hukuman kurungan, kepada Takezo ia berkata, “Kamu boleh membaca sebanyak kamu suka. Seorang pendeta terkenal zaman kuno pernah berkata, “Saya terbenam dalam kitab-kitab suci dan membaca beribu-ribu jilid buku. Ketika saya keluar, hati saya serasa melihat lebih banyak dari sebelumnya.””
Ingat bagaimana Rasulullah dengan sungguh-sungguh berdoa, betapa beliau mengharapkan salah satu di antara dua Umar memeluk Islam? Rasulullah memahami betul betapa berpotensinya dua umar itu bila berada di barisan orang-orang mukmin.
Selain fisik dan kedudukan, ada satu kunci kekuatan pada dua Umar yang tak banyak orang memilikinya. Ialah kekuatan tekad. Dan benarlah ketajaman batin Rasulullah. Bersama tekad seorang Umar ibn Khattab, Islam memancarkan cahaya terang dan kehormatannya di muka bumi. Pemuda keras dan berani itu telah membawa keharuman di langit-langit sejarah kehidupan manusia.
Hidup dan Tumbuh Besar di Jalanan
Setelah keluar dari hukuman kurungan, Takezo mengganti namanya menjadi Miyamoto atas saran Terumasa agar selalu ingat kampung halamannya. Takuan juga mengusulkan penyebutan nama kecil Takezo diganti. Hurufnya tetap sama, hanya bila Takezo dibaca seperti huruf Cina, maka pelafalannya menjadi Musashi. Jadilah Takezo terlahir kembali sebagai manusia baru bernama Miyamoto Musashi.
Setelah masa kurungan selesai, Musashi merasa dirinya masih sangat muda untuk berdiam diri di satu tempat. Oleh karena itu, ia putuskan untuk mengembara sekehendak hatinya. Kini ia punya tekad baru, membaktikan diri pada Jalan Pedang, pada latihan dan kedisiplinan. Musashi menjadi samurai tanpa tuan atau dikenal dengan sebutan ronin.
Di sepanjang perjalanan hidupnya yang baru, nama Musashi mulai ramai dibicarakan setelah ia berhasil mengalahkan para samurai piawai dari Perguruan Yoshioka yang saat itu amat termasyhur.
Pertarungan kilatnya dengan Aagon, salah seorang murid senior, dikenal sebagai Tujuh Pilar Hozoin. Hozoin adalah sebuah kuil tempat mempelajari seni bela diri Gaya Hozoin dipimpin Pendeta Inshun. Lalu diikuti peristiwa di Dataran Hannya, puluhan ronin jembel yang sering menyusahkan Hozoin, mati terbunuh oleh pedang Musashi.
Tak sampai di situ. Ia pun memperlihatkan kesungguhannya ingin bertarung melawan samurai dari Keluarga Yagyu, yakni Sekishusai, prajurit tua yang punya ketajaman pandangan.
Dari pelbagai pertarungan, hingga usahanya menjadi seorang petani, mengubah dataran kering, tandus, dan mati menjadi lahan pertanian yang subur, sekaligus membantu warga satu kampung menjadi lebih berani melawan bandit-bandit gunung, membuat tak hanya namanya saja yang makin banyak disebut.
Kematangan jiwa, kebijaksanaan sikap, dan keluasan berpikir Musashi menjadi lebih terlatih, akibat tempaan jalanan. Sebab di jalanan lah dirinya benar-benar menghadapi wajah asli manusia dan bumi yang dihuni, tanpa topeng, tanpa rekayasa.
Segala teori yang dibacanya saat di Puri Himeji, telah menemukan pembuktiannya di jalanan. Segala buku yang dipelajarinya di dalam kamar kurungan, telah diperoleh praktiknya di lapangan.
Bayangkan bila ia tetap berada di kediaman daimyo Terumasa dan menikmati kenyamanan di sana, takkan ada nama Miyamoto Musashi dalam sejarah Jepang.
Kombinasi Fisik dan Spiritual Musashi
Ia bukan lagi Takezo si perusuh atau pemuda liar bagai binatang. Kini, ia adalah seorang samurai tanpa tuan yang punya kedalaman pemahaman terhadap hidup dan kekokohkan integritas.
Dalam buku berjudul The Book of Five Rings yang ditulisnya di kemudian hari, Musashi menyebutkan bahwa ilmu tertinggi dari ilmu pedangnya adalah ketiadaan (nothingness). Para samurai meyakini bahwa teknik fisik bukanlah hal penting. Kesadaran ini muncul setelah latihan bertahun-tahun lamanya, dirasakan bahwa kemampuan fisik justru kerap membatasi kekuatan dan teknik seorang samurai.
Namun, sebaliknya, hati (jiwa) seorang manusia adalah sumber kekuatan hakiki yang tak terbatas. Hati memiliki kekuatan tak terhingga karena ia terhubung langsung dengan alam semesta. Walaupun keberadaan manusia adalah kombinasi fisik dan spiritual, tapi kelak jiwa akan tetap hidup meski fisik hancur.
Musashi tidak hidup untuk melayani tuannya. Ia hidup untuk melayani jiwanya. Oleh sebab itu, ia selalu berusaha hidup dengan pikiran jernih dan hati yang murni.
Tak hanya soal pedang, Musashi juga mahir dalam seni lukis dan memahat. Ia mendalami seni tersebut dengan ketekunan luar biasa karena tak ingin ada waktu yang tersia-siakan. Musashi belajar untuk senantiasa menghargai detik demi detik kehidupan dan menikmatinya sebagai sesuatu yang indah.
Penjelasan mengenai nilai-nilai samurai ini termaktub dalam buku Spiritual Samurai karangan Ary Ginanjar Agustian, catakan pertama pada Juli 2010.
“Di dalam kehidupan ini, kita mesti memiliki keluwesan. Semangat kita harus dapat bergerak bebas. Terlampau kaku dan keras berarti rapuh dan tidak memiliki daya tanggap…”
“Malam ini, ketika pertama kali aku melihatmu, aku dapat merasakan tidak adanya keluwesan padamu, yang ada cuma kekerasan, kaku, dan pantang meyerah…”
Potongan kalimat itu berasal dari Yoshino, seorang wanita pramuria yang mengajari Musashi bermain kecapi pada suatu malam, setelah bertarung melawan Denshichiro dari Perguruan Yoshioka.
Tak hanya perkara kecapi, tapi juga soal mangkuk milik Koetsu yang sama mengesankannya dengan irisan batang bunga peoni Sekishusai saat ia melihatnya kali pertama hendak berkunjung ke Keluarga Yagyu. Musashi memerhatikan setiap detil, berhati-hati dan senantiasa waspada dalam segala situasi dan kondisi.
Sikap wawas diri itulah yang membuat Musashi menghargai setiap tindakan kecil. Perbuatan apa pun yang diperlihatkan, ditujukan, atau terjadi kepadanya, selalu ia hargai dan hormati dengan sangat khidmat, disikapi dengan perhatian sungguh-sungguh serta ditanggapi demikian santun.
Lawan Muso Gonnosuke dan Sasaki Kojiro, Pembuktian Sifat Kesatria Sejati
Maka tak hanya soal pedang saja, tapi juga kesenian seperti kaligrafi/lukisan dan patung juga dikuasainya. Hal tersebut mengartikan bahwa dalam satu tekad keras, perlu pula adanya sikap lembut agar berimbang.
Kedua hal yang tampak bertentangan itu mesti ada dalam diri seorang samurai agar ia mampu menempatkan segala sesuatunya sesuai porsi, dapat memutuskan dalam keadaan tenang, ada rem dan gas yang dapat dioperasikan secara tepat.
Sikap wawas diri membuatnya tak pernah sedetik pun meremehkan kekuatan lawan, meski orang itu adalah petani miskin seperti Muso Gonosuke atau Sasaki Kojiro si ahli pedang yang jenius. Musashi mengakui bahwa pada pertempurannya dengan Gonnosuke, ia kalah.
Lain halnya dengan Sasaki Kojiro. Lawan setimpal Musashi ini dikalahkan cepat setelah pergulatan panjang Musashi tentang Jalan Pedang yang ditempuhnya memperoleh jawaban dari Pendeta Gudo.
Meski Musashi menang, gelombang rasa kagum dan hormat melandanya. Ia menggigil, begitu mendapati ikat kepalanya terbang ke udara terkena tebasan Galah Pengering (pedang) milik Kojiro.
Takkan pernah lagi dalam hidup Musashi, menjumpai lawan seperti itu. Musashi justru berterima kasih kepada Kojiro atas apa yang telah diberikan kepadanya. Dalam hal kekuatan, dalam hal tekad tempur, Kojiro setingkat lebih tinggi dari Musashi. Oleh karena itulah Musashi telah dapat meningkatkan diri.
Terlepas dari sisi religiusitas masyarakat Jepang saat itu terhadap Tuhan atau dewa, apakah gerangan yang memungkinkan Musashi mengalahkan Kojiro? Keterampilannya? Bantuan para dewa?
Musashi tak menganggap dua hal tersebut menjadi alasan kemenangannya. Tak pernah pula ia mampu mengungkapkan dengan kata-kata. Baginya, alasan itu adalah sesuatu yang lebih penting dari kekuatan ataupun pertolongan dewa.
Kojiro meletakkan keyakinannya pada pedang kekuatan dan keterampilan, sedangkan Musashi mempercayakannya pada pedang semangat. Itulah satu-satunya beda keduanya. Namun, tetap ada satu kekuatan dalam Jalan Pedang yang telah dipahami Musashi setelah sekian tahun ia mengembara.
Menuju Kesempurnaan Sebagai Manusia
Pertempuran demi pertempuran yang menyisakan dua pilihan, hidup atau mati, itulah yang menumbuhkan pemahaman mendalam pada Musashi mengenai pengelolaan dan kendali terhadap diri sendiri, pikiran-pikiran, ego, dan nafsu.
“…Jalan yang kupilih ini adalah jalan disiplin. Tuntutannya, aku harus mengatasi perasaanku, aku harus menempuh hidup menahan nafsu, dan berlatih banyak-banyak menahan segala kesulitan. Kalau tidak, cahaya yang kucari akan lepas… tidak akan jadi prajurit yang hormat kepada diri sendiri,” ucap Musashi kepada Jotaro, muridnya.
Sikap wawas diri yang tak pernah hilang, memunculkan kehati-hatian dan kewaspadaan, termasuk pada kematian. Ketika secara sadar seseorang telah mengakui segala kelemahan dirinya, maka pada saat yang sama ia akan berusaha keras mengatasi kelemahan itu sekaligus terbuka menerima keunggulan orang lain.
Jujur terhadap diri sendiri, maka secara spontan akan jujur kepada siapa pun. Ibarat bunga sakura, mekar bersemi dalam waktu singkat, setelah itu gugur, tapi keindahannya abadi dan senantiasa diingat. Demikianlah seorang samurai menampakkan dirinya. Tak pernah menyia-nyiakan hidup yang selalu dianggap singkat karena kematian bisa datang sewaktu-waktu. Musashi menulis dalam buku catatannya, aku takkan melakukan sesuatu yang akan kusesali.
Sama seperti prinsip hidup seorang muslim. Bila pemahaman terhadap tauhid kokoh menghujam ke dalam jiwa, maka ketika ia menyadari kelemahan dirinya, ia akan tempa dirinya dengan upaya keras dan kedisiplinan terus-menerus.
Semakin keras ia menempa, semakin muncul kesadaran bahwa ia bukan siapa-siapa, ia tidak punya apa pun yang dapat dibanggakan. Nothingness. Ketiadaan. Ia hanya punya Allah yang selama ini ada dan selalu membantunya, menuntunnya, membimbingnya menuju kemenangan demi kemenangan.
Seiring kejujuran itu muncul dalam diri Musashi, semakin ia merasa kecil dan tunduk pada alam semesta, menyatukan dirinya menjadi satu lingkaran penuh. Lalu dengan itu, ketenangan luar biasa muncul dari dalam dirinya. Perasaan tenanglah yang kemudian membuat kekuatannya berpadu, memunculkan keberanian. Berani yang hati-hati, berani yang tenang.
Seluruh pikiran dan setiap inci bagian tubuhnya fokus, hasil tempaan jalanan dan latihan pedang yang tak pernah selesai mengalir keluar dengan mantap, tanpa sedikit pun Musashi merasa terancam. Hidup atau mati, tak jadi urusan. Ia hanya fokus pada pengumpulan kekuatan dan mengerahkannya sebaik mungkin, seoptimal yang ia dapat lakukan.
“Saya pikir Anda tidakperlu khawatir. Ketenangan Musashi sungguh sempurna. Ia kelihatan betul-betul yakin,” ucap Koetsu kepada Gonnosuke yang khawatir Musashi akan kalah melawan Sasaki Kojiro.
“…Ia memang orang biasa. Itulah yang luar biasa padanya. Ia tak puas hanya dengan mengandalkan diri pada pemberian alam. Karena tahu diri orang biasa, maka ia selalu mencoba meningkatkan diri. Tak seorang pun menghargai usaha mati-matian yang harus ia lakukan. Namun, sekarang, ketika latihannya yang bertahun-tahun itu sudah memberikan hasil demikian hebat, tiap orang lalu bicara bahwa ia memiliki bakat pemberian dewa. Begiulah cara orang yang tidak tekun berlatih menyenangkan diri.”
Saya pikir, inilah yang terjadi pada petarung bebas UFC Khabib Nurmagomedov. Ia punya keberanian yang tidak gegabah, keberanian yang tenang. Khabib lebih unggul dari Mc Gregor karena kesiapannya yang bulat utuh sempurna. Pada saat yang sama, ia juga pasrah. Ia berjalan dengan keyakinan bahwa seluruh kekuatannya hanya akan mampu mengalahkan lawan atas kehendak Allah. Ia tak pernah benar-benar punya kekuatan super jika bukan karena pertolongan Allah.
Tauhid.
Apresiasi yang sangat apik, menyajikan nilai-nilai yang dilakoni tokoh sebagai sebuah pesan bagaimana tokoh mengalami titik balik hidup
Di dalam kehidupan ini, kita mesti memiliki keluwesan. Semangat kita harus dapat bergerak bebas. Terlampau kaku dan keras berarti rapuh dan tidak memiliki daya tanggap…”
“…Jalan yang kupilih ini adalah jalan disiplin. Tuntutannya, aku harus mengatasi perasaanku, aku harus menempuh hidup menahan nafsu, dan berlatih banyak-banyak menahan segala kesulitan. Kalau tidak, cahaya yang kucari akan lepas…
Semakin keras ia menempa, semakin muncul kesadaran bahwa ia bukan siapa-siapa, ia tidak punya apa pun yang dapat dibanggakan. Nothingness. Ketiadaan. Ia hanya punya Allah yang selama ini ada dan selalu membantunya, menuntunnya, membimbingnya menuju kemenangan demi kemenangan
Sebuah alur introspeksi manusia menaklukan dirinya sendiri memunculkan kesadaran ketiadaan. Bahwa semua Hanya Allaahlah yang membantu, menuntun, dan membimbing dalam setiap langkahnya.
Iya, Bu. Baca buku ini betul-betul bikin saya merenung panjang. Orang yang nggak beragama aja atau percaya dewa-dewa (samurai) bisa demikian khidmat pemahamannya terhadap hidup, ada sisi spiritual yang dalam. Harusnya umat muslim bisa lebih dari ini. Sebab kita punya contoh yang sudah sempurna sbg manusia (Rasulullah SAW).
dari dulu aku selalu menyangka bahwa pasti ada sosok nyata seorang Musashi di Jepang
wong Jepang kan gudangnya samurai berbakat to
Iya betul. Musashi nyata ada di Jepang.
aq sering lihat ini novelnya di gramedia, tapi belum pernah beli, jadi bisa baca disini walau singkat aja tapi jadi tahu ceritanya
Mudah-mudahan nggak spoiler hehe
aku kok ya agak ngeri sama orang jepang yang samurai gitu, karena pernah nonton film2 tentang samurai itu pedangnya tajem banget, sekali tebas, wissss kelar
0
Iyaa mbak haha. Samurai itu dingin luar biasa tapi pada saat yg sama mereka penuh kelembutan (kalo samurainya bener baik dan lurus).
Whoaaa, keren bangeeett. Makasiy sharing resensi bukunya yaaaa
0
Sama-sama Mbak Nurul 🙂
Orang Jepang agama shinto, tapi kita beragama tapi kurang memahami
Buku yang bagus
iya ya, jepang malah lebih teratur dari indonesia yang mayoritas muslim (di islam kan mengajarkan banyak nilai-nilai baik yang justru lebih kelihatan penerapannya di jepang)
udah pernah baca, jadi pengen baca ulang abis liat vartikel ini….
0
yuk yuk baca lagii hehe
Belum pernah baca tapi kalau melihat tokoh tokoh dalam film2 samurai banyak pesan pesan moral yang bisa di ambil juga ya
0
Iyaa banyak banget karena prinsip hidup samurai itu sangat luhur dan bersahaja. Mengagumkan lah pokoknyaa >,<
filosofi hidup samurai itu menarik, tfs 🙂
iyaaa bangeet
KAlau samurai-samurai begini aku tuh selalu keingetan sama Assasins dan Samurai X yang suka aku tonton.
0
Iya yaa, soalnya budaya dan tokoh yang rada-rada mirip. Dan visualisasi itu yang kayaknya lebih dulu dikonsumsi orang-orang sebelum baca Musashi. Mungkin sih…
Keren banget dan asli baru tau cerita dibalik buku yang sampulnya familiar banget ini. Jadi pengen nyoba baca juga jadinya.
Yang cetakan baru (seluruh serinya disatukan) harganya memang agak mahal sih, tapi sesuai banget sama isinya. Yoo ayook beli mbak buat koleksi bacaan bagus hehe
Mbaaaa aku gak mudeng pas awal baca. Hehehe…
nggak mudengnya yang pas kalimat mana mbak? ^^”
Buku ini rasanya aku sering banget liat di mana-mana. Tapi gak pernah baca. Hahaha.
Di toko buku pastinya ya mbak haha. Habis mampir ke sini, langsung masuk wishlist belanja buat koleksi buku bagus mbak 😀
Thanks for sharing 🙂 keren banget, aku jadi pgn baca…
0
you’re welcome
Belum pernah baca bukunya tapi setelah baca ulasan ini jadi lebih tertarik deh.
0
yeaay terima kasih mbak sudah mampir 🙂
Keren banget ini bukunya! Udah koleksi juga di rumah.
Iyaa bagus kan ya mbak. Bikin ulasannya juga dong mbak di blog hehe
Kayaknya pernah baca 1 novel ini deh.. soalnya mendadak familiar gitu sama nama Musashi Miyamoto..
tapi para samurai itu memang punya prinsip hidup yang luar biasa ya. mungkin memang semua beladiri seperti itu, bahwa kemampuan fisik bisa membatasi kemampuan dan teknik beladiri seseorang.
tapi saya tuh tetap gak setuju dengan metode harakirinya.
Iya mbak, integritasnya itu lhoo bikin takjub. Lalu seketika ingat bahwa Islam juga punya para pahlawan yang nggak kalah hebat bahkan jauh lebih keren. :”)
Baca ini jadi inget film samurai X hehe. Btw makasih ya resensi bukunya , aku belum pernah baca buku ini .
iyaa persis film samurai X memang. Nggak jauh-jauh juga kebiasaannya dari film itu karena yang diunggulkan dari film begitu adalah prinsip hidup dan integritas diri samurai.
Wah penyuka musashi ya … ku juga suka kisah samurai.. banyak pesan bijaknya
0
Iyaa suka karena cerita fiksi sejarah karangan eiji yoshikawa ini bagus, mbak yayat hehe
aku baca Musashi zaman SMA yang bukunya tebal seribu sekian halaman itu. Susah berhenti begitu membaca karena ceritanya begitu hidup.
itu yang versi baru ya mbak? soalnya versi lama dipisah jadi 7 buku. Itu keren bangeeet bacanya pas SMA. Top dah. Jarang anak SMA suka baca yang tebel-tebel begitu apalagi perlu analisa dan pemahaman gitu kan terhadap isi buku ini dan maksud unsur kesatuan dengan alam yang diajarin Guru Gudo ke Musashi.
Buku yang luar biasa menarik. Saya simpan keseluruhan bukunya, ingat dulu belinya nyicil satu per satu.
Pertama baca di Kompas, dimuat harian bersambung. Lalu diterbitkan satu per satu. Saya cek, ternyata yang jilid pertama yang saya miliki cetakan ke-3 Desember 1985.
Saya tonton juga filmnya yang terdiri dari 3 film. Film pertamanya dirilis 1954 dg bintang Toshiro Mifune sebagai Musashi. Ketiga filmnya masih saya simpan di disk.
Tapi menonton filmnya gak seasik membaca bukunya.
Terima kasih atas reviewnya yang keren.
Salam dari saya di Sukabumi.
Sama-sama, Pak. Wah punya buku cetakan jadul, Pak? Itu berharga sekali. Mantap!
Saya selalu sepakat kalau baca bukunya jauh lebih memuaskan ketimbang nonton filmnya, hehe. Sebab kita sudah punya imajinasi sendiri yang nggak akan bisa dipenuhi oleh orang lain. 😀