“That period between 25 and 30 has to be the most worrisome part of adult life. You worry about so much. Your dreams. A life partner. Finance. The future. Your parents getting old. Everything. Very easy to fall in depression or develop anxiety disorders.”
Katanya begitu. Middle Life Crisis yang menyerang kaum dewasa muda. Bener juga sih. Percaya nggak percaya. Saya coba cari alasan logisnya, biar nggak dikata mitos atau ‘Halah perasaan doang. Galau dan labil doang itu mah’ barangkali memang bisa dijelaskan secara nalar. Bisa aja, kan? ini penjelasan subjektif saya aja. Nggak pake data ilmiah, hehe. Ngopi dulu ngopi.
Pasca Kampus
Orang-orang yang masuk tahap mandiri dalam mengambil keputusan hidup, punya independensi terhadap langkah hidupnya, biasanya ada di usia-usia pasca kampus. Bukan fresh graduate, tapi 3 atau 4 tahun setelahnya. Kalau lulus usia 21-22, kira-kira pada usia 25-26 lah. Kalau baru banget lulus, biasanya masih masa penyesuaian dengan kehidupan nyata yang kejam. Masih ngeraba-raba, habis ini mau ke mana, mau ngapain, nikah atau kerja.
Kita punya aktivitas dan dunia baru, entah itu kerja (1) atau nikah dan berkarir (2) atau nikah dan jadi IRT (3). Umumnya, tiga jurusan inilah realita yang terjadi di sekitar kita. Masa orientasi terhadap aktivitas itu nggak bisa cuma bilangan bulan. Setahun-dua tahun juga biasanya masih meraba-raba dan terkaget-kaget atas fakta bahwa nyari duit itu susah, capek, meski lebih enak dari ngerjain skripsi (makanya pada gemuk-gemuk kan, hahaha).
Masuk Gerbang Usia Seperempat Abad
Lalu sampailah kita pada usia 25 tahun. Usia yang baru paham pola kehidupan orang dewasa itu kayak gimana. Kalau kerja kantoran, interaksi selama bilangan tahun ke rekan kerja yang pasti didominasi usia tua, bikin kita mau nggak mau jadi punya cara pandang baru, kebiasaan baru, sikap baru, banyak lah yang baru. Kita juga jadi makin kaya kosakata tentang cara bertahan hidup dan mengembangkan kompetensi.
Kalau udah nikah dan jadi IRT, maka pelajaran menjadi istri sekaligus ibu baru itulah yang memaksa kita untuk bisa cepat dan mandiri ambil keputusan. Trial and error, di situlah pendewasaannya. Sebab nanti ketika dapat masalah yang sama, kita bisa dengan mudah memutuskan akan melakukan apa berdasarkan kegagalan/keberhasilan sebelumnya.
Drama hidup yang naik turun begitu akan secara sadar kita nikmati dengan perasaan antusias. Maksudnya, gelora muda nggak bakal bisa bohong. Di usia seperempat abad itu, kita masih anak bawang di belantara kehidupan nyata, dibanding yang kepala tiga, empat, lima, dst. Jadi wajar ketika kita masih gampang kaget, mudah percaya, cepat menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan idealisme, dan segenap perasaan maupun sikap lain yang serupa. Normal dan wajar buat anak baru.

waktu rapat redaksi tahun 2016
Ritme Baru: Ujian Keteguhan Hati
Nah, pada titik krusial inilah, yang bagi saya, menjadi sebenar-benarnya ujian keteguhan hati. Kita mau naik jenjang ke dunia berkepala tiga. Tentu di sana sudah menunggu beban dan tanggung jawab yang lebih besar dan berat dari sebelumnya pas di area kepala dua.
Disebut fase krisis pertengahan hidup, karena pada saat kita menjalani rutinitas itulah, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan lanjutan; apakah setelah ini aku mau lanjut kerja lagi? Atau kuliah aja? Setelah menikah, apakah aku akan jadi IRT atau berkarir aja? Kok suamiku ternyata begitu? Pengen kuliah/kerja tapi sekarang udah ada anak satu, kapan ya bisa lanjut kuliah lagi?
Dan pertanyaan-pertanyaan lumrah lain seputar dilema ritme baru yang masih perlu tahap penyesuaian. Yap, itulah fase usia di mana kita sedang melewati gerbang untuk masuk ke dunia baru dengan cara kerja baru, strategi baru, jiwa baru, cara pandang baru. Apa yang kita kerjakan pada tahap ini, akan berdampak pada tahap-tahap selanjutnya. Dampak yang besar karena dunianya bukan lagi di dalam rumah, tapi kita sudah ada di luar, di jalanan.
Wajar kalau kemudian muncul banyak pertanyaan, kekhawatiran, kegalauan, bahkan ketakutan. Sebab inilah masa produktivitas kita, masa kita memulai segala sesuatunya dari bawah, sampai nanti menuai hasilnya di akhir perjalanan. Khawatir apakah hasil akhirnya baik atau justru menyengsarakan.
Kehidupan jalanan menuntut kita untuk memutuskan pilihan disaat usia kita masih sangat muda, di tengah himpitan persaingan dengan usia-usia tua yang tentu lebih punya pengalaman dibandingkan anak baru.
Kita sudah bisa memilih/memutuskan karena pengalaman 3-4 tahun pasca lulus itu, tapi diikuti kehawatiran tadi, karena kita belum terlalu matang untuk menerka apa yang akan terjadi seandainya kita memilih A atau bilamana kita memilih B. Apa dampak ke depannya? Gimana nanti nasib saya kalau saya memilih begini dan begitu sekarang?
Kita masih sangat muda untuk memilih dan memutuskan sesuatu. Namun, pada saat yang sama, kita membuat keputusan itu menjadi bagian dari proses pendewasaan dan pematangan, yang akan diraih nantinya pada fase 40 tahun.
Jadi, memang demikianlah siklus hidup yang harus kita lewati. Nikmati dan jangan lupa bahagia! 😀
Yup, jangan lupa untuk bahagia 😊
Tentu 🙂