Gagal Ke Luar Negeri (?)

Kadang saya iri dengan kawan-kawan kampus yang bisa ke luar negeri, entah pertukaran pelajar, presentasi karya tulis yang cuma sepekan dua pekan, atau sekadar jalan-jalan pakai duit sendiri maupun dibayari karena menang kompetisi.

Memangnya saya tidak mencoba? Oh, sudah berulang kali. Lalu menyerah karena selama berulang kali itu belum ada yang berhasil? Ehm…. yaa… fifty fifty. Dibilang menyerah, tidak juga. Yang jelas, saya berhenti mencoba sampai….. sampai waktu yang tidak bisa saya tentukan sendiri.

Lalu pada suatu hari, di menit ke berapa, saya tersentak. Tiba-tiba, begitu saja, seperti ingatan tentang jemuran yang terlambat masuk ke kepala. Bingo! Saya tahu kenapa selama ini saya gagal. Bukan karena saya harus mencobanya lagi sampai 21, 50, 90, 100 kali, dst.
Selama saya mengurus berkas-berkas keperluan lomba, exchange, short course, dll, selaluuu saja gagal di tengah jalan. Bahkan sebelum mulai, sebelum saya masuk ke arena pertarungan, sebelum saya serahkan berkas ke meja juri dan harap-harap cemas menunggu pengumuman siapa yang lolos.
Saya belum pernah merasakan itu semua, kecuali harap-harap cemas, apakah pada kesempatan berikutnya, saya bisa menyelesaikan prasyarat tersebut sampai benar-benar diserahkan ke panitia, lalu diuji kelayakannya. Sampai sini, saya cuma bisa membayangkan, seperti apa ya rasanya menunggu pengumuman berangkat ke luar negeri?
Jangan kasihan ke saya, ya ^^’ Awalnya, saya juga meratapi kesengsaraan diri sendiri. Apa saya terlalu bodoh dan malas atau tidak pantas? Lalu jawaban itu datang. Saya kaget. Ternyata, itu Ibuk.
Ibuk cuma punya saya. Kalau saya pergi, meski sepekan, siapa yang mengurus Ibuk? Siapa yang bisa Ibuk mintai tolong jika sewaktu-waktu tangan keseleo, tidak bisa menyalakan kompor, tidak ada masakan yang bisa dimakan, susah cebok di wc, dan seterusnya, dan seterusnya. Itu satu pekan. Kalau satu tahun?
Baiklah. Dalam beberapa kondisi, saya memang perlu satu bentuk jawaban yang entah logis atau tidak, benar atau salah, pokoknya harus dibenarkan. Supaya saya legowo, nrimo. Memang kesannya seperti memaksakan alasan, mencari-cari pembenaran agar saya tidak perlu merasa kecewa karena tidak bisa jalan-jalan ke luar negeri.
Namun, alasan Ibuk itu, pada akhirnya membuat saya betul-betul berpikir terus-menerus sepanjang waktu. Membuat satu per-satu ego runtuh. Saya harus jujur bilang bahwa saya tidak boleh melulu cari-cari alasan yang seolah menjadi penyebab saya gagal selama melengkapi berkas.Saya harus memahami alasan itu sebagai sebuah alasan yang berdiri sendiri, bukan karena menjadi penyebab kegagalan. Melainkan karena alasan itulah bentuk kebaikan yang Allah kehendaki.
Saya tidak boleh menjadikan alasan Ibuk sebagai penyebab dari kegagalan mewujudkan keinginan saya yang satu itu. Namun, adanya Ibuk memang untuk saya jaga, dirawat sebaik mungkin, dimuliakan, diistimewakan, karena begitulah yang diperintahkan.
Kalau selama ini saya gagal melengkapi berkas, barangkali memang tujuan saya belum bulat, belum kokoh, masih mudah terombang-ambing. Sebab hidup ini dikukuhkan oleh tujuannya, maka ketika tujuan itu masih lembek, bagaimana bisa hidup saya kelak akan berjalan sempurna? Berdiri tegap saja susah.
Lagi, saya hanya perlu menengok ke dalam diri, lalu bicara jujur. Ketika tiga saudara kandung saya tidak berkesempatan mencicip kehidupan bersama di dunia, maka saya yang tetap hidup sampai kepala dua ini, tak lebih tak kurang, untuk menjaga Ibuk sebaik mungkin, dengan waktu dan tenaga terbaik yang saya punya.

thayyiba.com

Dalam beberapa kali momen lucu, jelas sudah Ibuk memang tidak bisa jauh-jauh dari anaknya. Waktu saya tinggal KKP (Kuliah Kerja Profesi, semacam KKN/PKL wajib dari kampus selama 2 bulan), Ibuk gatal-gatal. Sekujur tubuh bentol-bentol.Begitu saya pulang sebentar karena selama KKP ada jeda waktu libur sepekan, saya tengok Ibuk. Percaya atau tidak, gatal-gatal Ibuk sembuh total! Waktu saya tanya apa kata dokter waktu periksa, Ibuk jawab,
“Nggak tau. Katanya sih alergi biasa.”
“Lha, Ibuk kan nggak punya alergi apa-apa. Kok bisa?” kening saya berkerut.
“Nggak tau. Bentol-bentolnya keluar pas seminggu kamu pergi” wajah innocent Ibuk bikin saya geli.Kalau memori kepala ingat kejadian ini, saya cuma bisa senyum-senyum. Sehat-sehat terus ya Buuuk… :”)
***
Atas seluruh peristiwa sepanjang hidup, seringkali kita mencari-cari alasan sebagai bentuk pembenaran agar tak perlu berburuk sangka, agar hati lebih mudah menerima. Padahal, definisi everything happens for a reason sesungguhnya adalah memandang alasan sebagai sebuah kebaikan yang jalan ceritanya sudah dikehendaki dari awal, jauh sebelum kegagalan mendekat. Justru kegagalan itulah yang menjadi hikmah dari alasan. Pada akhirnya, saya merenungi kembali, bahwa bakti merupakan bentuk kebaikan yang sempurna, maka saya hanya perlu menunggu rencana Allah berikutnya, dan terus melakukan hal-hal yang membuat saya bahagia, seperti menulis 🙂
Saya masih tetap ingin ke luar negeri, jalan-jalan ke bagian lain dari bumi Allah yang luaaaaaass. Tapi, tidak sekarang. Entah kapan, semoga itulah waktu terbaik yang Allah sediakan. ?
Allahumma alhimna rusydana wa a’idna bi syarri nufusina.
Ya Allah, ilhamkan kepada kami kebenaran dan jauhkanlah dari kami keburukan (atas) nafsu-nafsu kami.

12 tanggapan pada “Gagal Ke Luar Negeri (?)

Terima kasih sudah membaca :D Apa pendapatmu?

error: Content is protected !!