Seperti inilah jalan para penulis…
Tak pernah ada yang mudah dari pekerjaan manusia di dunia, apa pun bentuknya. Menjadi penulis, misalnya. Semakin kemari, semakin saya tersentak bahwa ini adalah pekerjaan luar biasa berat. Menjadi penulis, berarti menjadi ’Tangan Tuhan’, menyampaikan maksud-Nya kepada orang-orang dengan jujur, benar, dengan sepenuh kesantunan, dengan bahasa paling mudah untuk diterima.
Bukankah ini tugas yang sangat sulit?
Jika merasa lemah, apakah lantas kita akan menyerah? Rasa-rasanya, bukan begitu jiwa seorang kesatria. Seseorang yang sudah bertekad masuk ke pintu-pintu literasi, maka sudah sepatutnya ia tidak berbalik arah. Kita yang sudah mengazzamkan diri untuk masuk kedalam dunia kepenulisan, dengan segala hiruk pikuk dan jalan sunyi yang membentang, sudah selayaknya dituntaskan sampai Allah sendiri yang cabut pena dalam genggaman.
Dituntaskan penuh sampai Allah putuskan bahwa tinta kita untuk menulis sudah habis.
Berpadu, Bekerja, dan Berpasrah
Di jalan ini, kita memerlukan keterpaduan. Tak ada yang merasa lebih, dan tak boleh ada yang merasa kurang berperan. Apa pun yang terjadi di kemudian hari, tidak akan pernah ada kata gagal selama kita tetap bekerja, beramal, dan melangkahkan kaki bersama.
Sebab, neraca kegagalan tak pernah diukur dari bagaimana hasil serangkaian usaha dan juang kita. Gagal dan berhasilnya kita, ada pada sebaik apa pekerjaan yang dilakukan, pada prosesnya.
Ketika mengulas kisah perang Badar, dengan indah Sayyid Quthb menuturkan bahwa pasukan Islam harus menghindari dua kutub perasaan yang bisa melemahkan; menganggap target perjuangan terlalu berat atau justru merasa target itu mudah sekali dicapai. Kedua perasaan itu akan mewarisi kelemahan dan menjauhkan kita dari kepasrahan diri kepada Allah. Perasaan ini menjadi faktor penting datangnya jaminan Allah untuk memperoleh apa yang kita hendak capai bersama.
Tawakkal dan berupaya optimal, sebagaimana burung yang berangkat pagi dalam keadaan lapar dan pulang petang dalam keadaan kenyang. Burung yang punya kesungguhan dalam berpasrah ketika dirinya gigih bekerja. Setelah tawakkal, usaha optimal inilah indikator ketawadhuan seorang hamba. Kemudian, tawakkal lagi. Tawakkal di sepanjang langkah kaki, hingga menghasilkan amal yang lebih besar lagi.
Percayalah, tak akan pernah ada yang sia-sia dari usaha kita.
Jadilah Kesatria!
Kita hidup di zaman yang penuh kelemahan: yang terikat, menjadi demikian mudah tercerai-berai. Yang hendak berjalan menuju surga, mudah sekali berbalik arah tanpa tahu yang ditujunya itu adalah neraka. Na’udzubillah…
Mari kita susun dan wujudkan narasi besar ini bersama-sama; menjadi ’perpanjangan tangan’ Allah untuk mengumpulkan yang terserak, mengikat yang tercerai, merangkul yang tersesat, dan menuntaskan tugas-tugas besar sebagai Khalifah. Tanggung jawab dakwah yang kita emban dalam organisasi ini, dalam rumah ini, laksana tanggung jawab yang dipikul Nuh, Luth, Musa, dan para kesatria yang namanya semerbak mengabadi di langit-langit sejarah.
Maka, sebagai Khalifah, sebagai para kesatrianya Allah, mari kita saling topang, saling berpadu, saling berperan.
Bantu FLP Bogor wujudkan karya-karya bernas, menggugah, membangkitkan ghirah, membakar optimisme. Namun tetap santun, berakhlak, dan indah budi bahasanya.
Seorang kesatria adalah mereka yang merampungkan apa yang telah dimulai.
Terima kasih kepada kawan-kawan yang telah memilih jalan ini,
jalan yang tak semua manusia mau dan mampu memasukinya, menghadapi segala risiko, dan mencapai garis akhir.
Terima kasih telah memilih jalan panjang ini;
jalan juang yang hanya bisa dipilih oleh para kesatria,
dengan sepenuh kesadaran dan keberanian.
Pagi yang teduh,
7/2/17
Salam cinta,