Saya hampir tidak pernah mengingat dengan baik setiap peristiwa, sekalipun itu menghempas tepat sasaran. Namun, ketika bertemu lagi dengan satu kejadian, dan itu termasuk pengulangan dari kejadian yang sama di masa lampau, boleh jadi saya akan kembali bernapas dengan cara yang tak lagi sama.
Sebut saja peristiwa petang.
Kebetulan yang selalu baik. Baru beberapa hari yang lalu, seorang guru mengingatkan saya tentang sebuah nilai.
“Salah satu ciri keberkahan dalam melakukan suatu hal adalah ketika selesai atau setelahnya, perilaku kita semakin baik, semakin sholih, semakin taqwa, kebaikannya terus meningkat …”
Sejurus kemudian, di kepala saya berputar peristiwa yang lalu-lalu. Ini nasihat sederhana. Sungguh sederhana. Saya sedang diingatkan kembali tentang sebuah hakikat. Sayyid Quthb dalam Fii Zhilalil Qur’an menulis sebuah penjelasan, bahwa ibadah adalah alat bantu untuk menghidupkan dan menjelaskan hakikat, menjelaskan kenyataan yang sebenarnya.
Pertanyaan dan kekhawatiran yang setelahnya cukup menganggu saya adalah “Apakah saya sudah menjadi lebih baik setelah melakukan ini dan itu? Apakah yang saya lakukan selama ini sudah baik menurut Allah?” dan apakah-apakah lainnya.
Begitu saja. Tidak ada bising hore-hore, tidak ada tepuk atau pekik gembira gadis-gadis, tidak ada derap musik, tidak ada kelap-kelip. Tidak ada ramai.
Sederhana saja.
Hanya petang yang ditingkahi suara sendok, beradu dengan empat gigi susu yang baru tumbuh. Hanya petang yang dikerubuti suara piring isi kudapan dengan ceceran remah dimana-mana, diinjak kaki-kaki berukuran sepatu 9-10. Hanya petang yang syahdu. Hanya petang yang hangat.
Peristiwa yang di kemudian hari akan sangat berarti untuk ditengok kembali. Semacam rambu-rambu lalu lintas, barangkali saya harus mengingat ini untuk seterusnya. 🙂